Nyethe: Ketika Kopi dan Kreasi Bersanding Mesra
Kopi diibaratkan sesuatu yang mempunyai daya magis, bisa membuat dan mengakrabkan suasana. Mulai dari yang tidak kenal menjadi kenal, bisa merekatkan si tukang becak dengan si pejabat, sampai bisa menyelesaikan suatu konflik permasalahan. Budaya ngopi seakan-akan telah membudaya dan melekat di berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Eyang saya pun pernah berkata “jenenge urung ngobrol lek urung dikancani karo ngopi” (namanya belum ngobrol jika belum ditemani secangkir kopi). Kopi seakan-akan menjadi pilihan nomor wahid guna menemani ngobrol santai, di mana saja, kapan saja.
Masyarakat Indonesia, terkhusus para pecinta kopi beranggapan bahwa ngobrol santai tidaklah lengkap jika tidak ditemani secangkir kopi hangat. Seolah kopi tidak hanya berfungsi sebagai minuman saja. Di berbagai daerah tradisi ngopi mempunyai ciri khas dan gayanya sendiri. Semisal di daerah yang terkenal dengan julukan “Serambi Mekah”; Aceh, budaya ngopi tak hanya untuk sekedar nongkrong, tapi tempatnya para pejabat juga turba untuk berkampanye dan dan bisa dekat dengan masyarakatnya.
Lain daerah tentu lain tradisi ngopinya. Bagi masyarakat kabupaten Tulungagung sendiri, warung kopi tak hanya untuk tempatnya srawung lan kondo-takon, akan tetapi juga digunakan untuk berkreasi dan berkesenian. Bila anda pernah berkunjung ke kabupaten Tulungagung, anda akan menemui sebuah fenomena unik di setiap sudut jalanan. Kota yang mempunyai slogan “Guyub Rukun, Tulungagung Bersinar,” anda bakal menemukan warung kopi yang tak hanya menjual kopi saja, akan tetapi lebih dari sekedar hal itu. Warung kopi di Tulungagung juga digunakan sebagai wadah berkreasi dan berkesenian. Terlepas dari pandangan/stigma sebagian masyarakatnya terkait warung kopi dan budaya ngopi yang identik tentang hal hal yang negatif.
Budaya nyethe atau kreasi seni menghias rokok dengan ampas kopi seolah menjadi angin segar. Sebuah oase di padang gurun terkait warung kopi dan budaya ngopi yang dipandang negatif oleh sebagian masyarakat, terkhusus di daerah Tulungagung. Cethe adalah sebutan ampas/limbah dari seduhan kopi, dan Nyethe adalah suatu aktifitas kreatif menghias dan mengoles sebatang rokok dengan motif tertentu. Ditilik dari segi historis nya, ada beberapa sumber yang menyebutkan kata Cethe dan budaya Nyethe lahir dan ada sejak sebelum tahun 1982. Pada tahun-tahun tersebut kebiasaan nyethe dilakukan oleh para petani dan masyarakat yang sedang cangkrukan di warung kopi.
Nyethe juga timbul dari kegelisahan para santri di daerah Tulungagung, tepatnya di kampung Kauman Tulungagung. Mereka yang rata-rata mempunyai ekonomi pas-pasan berpikir keras untuk mencari metode mensiasati agar rokok yang mereka punyai bisa bertahan lebih lama dan awet. Tercetuslah ide dengan mengoleskan ampas kopi atau cethe di batang rokok yang mereka punyai. Kegiatan ini dimaksudkan agar rokok yang dihisap tidak cepat habis dan menghasilkan asap yang khas dari perpaduan kopi dan tembakau.
Kegiatan nyethe tentu tak dapat dipisahkan dengan rokok dan kopi. Rokok yang akan dipersiapkan untuk nyethe sangat bervariasi tergantung dari selera orang yang bersangkutan. Ada yang seleranya menggunakan rokok filter kretek dan ada pula jenis rokok kretek non filter. Perlu diketahui, zaman dulu cethe mengunakan tekstur ampas kopi tubruk yang masih kasar. Sekarang ampas kopi tubruk cenderung mempunyai tekstur yang lebih halus. Hal ini karena perkembangan pesat teknologi dalam penumbukan kopi. Jika zaman dulu kopi dihaluskan dengan cara ditumbuk dengan kayu, kalau sekarang dihaluskan dengan diselep (digiling) menggunakan mesin.
Budaya nyethe juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Dimulai dari tataran bahan baku, yang mulanya hanya berupa ampas kopi saja kini bahan bakunya ditambahi dengan susu dan juga menggunakan vanili. Tambahan ini berdampak pada citarasa rokok cethe yang lebih nikmat.
Langkah awal nyethe dimulai dengan menyediakan minuman kopi yang kemudian dituangkan di lepek. Tunggu beberapa saat sampai kopi dan ampasnya mengendap. Setelah mengendap, keringkan dengan kertas, biasanya dikeringkan di atas lembaran-lembaran koran bekas dan juga tissu. Endapan ampas kopi yang telah mengering dan mengendap tadi kemudian dicampuri susu sebagai bahan perekat. Adonan cethe yang telah dicampuri susu tadi bisa ditambahkan lagi serbuk vanili untuk mendapatkan aroma wangi harum yang khas.
Kuas sebagai alat untuk menyethe, bisa menggunakan batang korek api kayu yang dilancipkan ujungnya, bisa juga menggunakan tusuk gigi. Sebagai tambahan ada silet dan juga benang yang digunakan dalam membuat motifnya. Motif-motif yang mereka ciptakan biasanya berbentuk motif kupu-kupu, batik, dan bunga-bunga. Sebatang rokok di tangan para penyethe ini bisa tercipta sebuah karya yang mempunyai nilai seni yang tinggi.
Kegiatan nyethe ini tidak hanya juga untuk mengisi waktu luang dan iseng saja, tetapi juga digunakan sebagai wadah pemersatu bagi para pencinta kopi. Sekitar tahun 2006, kabupaten Tulungagung juga mengadakan lomba Nyethe untuk berbagai kalangan, tak hanya para pencinta kopi saja. Kategori yang dilombakan diantaranya dalam kategori Rasa, Lukis, dan Aroma. Kategori Aroma yaitu mengutamakan bau atau aroma asap rokok, yang mana setelah dihisap rokoknya akan menghasilkan aroma asap yang harum, wangi, dan segar. Kategori lukis yaitu mengutamakan hasil olesan cethe pada batang rokok yang digambar atau dilukiskan, sesuai selera. Misal motif lukis batik, lukis abstrak, lukisan huruf/tulisan, dan lain sebagainya. Kategori Rasa yaitu mengutamakan rasa rokok cethe yang menghasilkan rasa yang lebih gurih dan nikmat.
Budaya Nyethe ini telah merambah tidak hanya di kabupaten Tulungagung, akan tetapi juga menyebar ke daerah lain di Indonesia. Hal ini juga dijadikan sebagai suatu hobi baru, terbentuknya komunitas-komunitas pecinta nyethe, bahkan juga sebagai mata pencaharian. Nyethe sekarang tak melulu dengan media rokok saja tetapi juga digunakan di cangkir plastik/cups dan juga asbak.
Bagaimana pendapatmu dengan budaya Nyethe, tertarik untuk mencobanya. Mengutip pemikiran Rene Descartes dengan “Cogito Ergo Sum; Aku berpikir maka aku ada.” Jika di Tulungagung pemikiran seperti itu bisa diubah menjadi kata “Nyetheo Ergo Sum; ketika aku menyethe, maka aku ada.”
Post Comment