Loading Now

Tak Kie: Kedai Kopi Tanpa Tandingan

Kedai kopi Tak Kie. © Nuran Wibisono

Jakarta pagi itu sedang terik. Namun saya masih bisa tersenyum. Sebab ini akhir pekan, Jakarta sedikit lengang. Saya sedang membelah ruas Harmoni, menuju Glodok. Di daerah Glodok itu ada sebuah gang legendaris yang dikenal sebagai pusat kuliner klasik. Salah satunya adalah kedai kopi Tak Kie.

Dari berbagai kisah, diceritakan bahwa kedai kopi ini sudah berdiri sejak 1927 silam. Dan dari aneka ria cerita yang berseliweran itu mengatakan kalau interior dan tata ruang kedai kopi ini tak banyak berubah.

Gang Gloria sendiri sudah menjadi legenda khusus. Gang ini kecil saja. Cenderung sangat padat dengan penjual beraneka ria makanan dan camilan di kanan kirinya. Di masa kini, peta resmi DKI Jakarta menyebutnya dengan Jalan Pintu Besar Selatan III. Namun Gloria masih nama yang terlalu seksi dan eksotis untuk diganti dan dilupakan. Jadilah hingga sekarang gang ini masih lebih dikenal dengan nama lamanya.

Meski sempit, gang ini sudah menjadi landmark bagi para pecinta kuliner, terutama kuliner klasik peranakan Cina. Saat masuk kesana, saya merasa ditarik kembali ke masa lalu.

Suasana Kedai Tak Kie Tempo Doeloe. © Nuran Wibisono

Di bibir gang, saya disambut oleh jejeran penjual beraneka ria makanan dan camilan. Mereka tanggap sekali merayu para pembeli untuk mampir ke lapaknya. Yang dijual beragam. Dari yang halal sampai non halal. Dari nasi campur hingga bakmi. Tinggal pilih apa yang kamu suka saja.

“Mau apa? Nasi campur? Nasi tim?”

“Berapa? Dua porsi ya?”

“Mie pangsit? Langsung dibuatin?”

“Ayo makan di sini saja kak”

Semua pekerja warung-warung kecil di kiri kanan gang itu begitu cekatan. Bahkan ada yang saking cekatannya, begitu saya dan seorang teman sejenak menatap papan menu yang ditempel di kaca, sang penjual langsung menyiapkan dua piring sembari berujar, “makan di sini dua kan?”

Namun saya sedikit menepikan keinginan untuk makan. Tujuan saya masih tetap dan terfokus pada kedai kopi Tak Kie. Kedai kopi ini hanya terletak beberapa meter saja dari bibir gang. Tempatnya tak terlalu besar. Tak ada papan nama yang megah. Bagian depannya malah tertutupi oleh gerobak penjual Sekba dan Bektim (makanan dari jerohan babi). Sangat sederhana untuk sebuah kedai kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1927.

Atmosfer kedai kopi tanpa tandingan. © Nuran Wibisono

Ketika saya masuk ke dalam kedai, saya terkesiap. Rupanya benar, tata ruang dan interior tak banyak berubah. Di dinding ada beberapa foto lawas kedai ini. Selain itu ada beberapa poster film yang mengambil kedai ini sebagai setting adegan. Poster itu dipigura dan juga dipajang di dinding. Tak ada pendingin ruangan. Apalagi sofa empuk dan wifi. Hanya ada kursi kayu dan kipas angin uzur yang bergantung di bagian atas dinding. Di bagian atas dapur tergantung satu papan berukuran besar bertuliskan “Kopi Es Tak Kie” dengan tambahan huruf China yang saya tak tahu artinya. Namun suasana seperti ini yang susah sekali dicari padanannya. Saya tersenyum senang.

Setelah puas memandangi tata ruang yang mengagumkan dan apa adanya, saya melempar pandangan ke arah dapur. Hanya ada satu “barista” yang bertugas membuat kopi.

Tak ada menu kopi yang macam-macam di kedai ini. Hanya ada dua pilihan: kopi hitam atau kopi susu. Dengan es atau tanpa es. Kopi hitam dihargai ceban, (10.000). Kalau ditambah susu cukup menambah seceng (1.000) saja. Sangat murah untuk ukuran kedai kopi tanpa tanding. Sebagai pembuka, saya memesan kopi susu es. Barista itu langsung menuang susu kental manis ke dalam gelas panjang, lalu mengguyurnya dengan kopi hitam dari dalam teko aluminium. Diaduk sedikit hingga warnanya jadi kecoklatan.

Kopi Es, bukan Es Kopi. © Nuran Wibisono

“Kopi untuk kopi es ini dibuat pagi hari mas, jam 4 sudah dibuat,” kata sang barista yang malu-malu tak mau menjawab saat saya tanyakan siapa namanya. Kopi yang dibuat jam 4 pagi ini ditampung di dalam panci berukuran sedang. Nanti saat kedai siap beroperasi pada pukul 7 pagi, kopi sudah dingin. Nah, kalau kopi yang sudah mendingin itu diberi es, rasa tak akan terpengaruh. Rasa kopi masih akan tetap sama.

Seringkali yang sama temukan, kopi es selalu disajikan seperti begini: kopi yang baru diseduh, lalu diberi es batu. Akibatnya panas dari kopi itu langsung melumerkan es dan membuat cita rasa kopi tak terlalu nampak, terkalahkan oleh air tambahan dari es yang mencair itu.

Tak perlu menunggu lama, saya langsung menenggak kopi es itu. Glek, glek, glek. Tiga tegukan sekaligus melewati kerongkongan yang sedari tadi kering dipanggang srengenge. Segar! Rasa asam kopi sedikit samar oleh legitnya susu kental manis. Tak perlu lidah ala coffee aficionado untuk mengetahui kalau ini adalah kopi susu pilihan.

Menuang kopi dingin kedalam teko alumunium. © Nuran Wibisono

Selain rasanya yang boleh dipujikan, suasana minum kopi di Tak Kie ini memang sukar dicari tandingannya. Bayangkan adegan ini: di meja sebelah, ada seorang opa yang rambutnya sudah putih keperakan. Ia sungguh rapi jali. Rambutnya disisir kebelakang. Ia sedikit mengomel dalam bahasa Mandarin karena ia tak diberi sumpit, melainkan sendok.

“Mana enak makan mie pake sendok!” ujarnya bersungut-sungut.

Sedang di meja yang lain, ada sepasang suami istri berusia lanjut yang dengan tenang menyeruput kopi dari cangkir sembari makan bakcang. Sedang di pojokan yang lain, ada 4 orang anak muda yang riang gembira meminum es kopi, yang aduhai cocok sekali diminum kala panas seperti ini. Sementara itu penjual asongan bersliweran. Yang dijual beragam. Mulai alat kerok hingga kaos singlet.

Selain kopi, Tak Kie juga menyediakan beberapa kudapan dan makanan berat. Mulai pangsit kuah, pangsit goreng, nasi campur, bakso, hingga bakcang. Ada yang halal dan ada yang tidak halal. Jadi bagi yang muslim, ada baiknya bertanya terlebih dulu.

Bacang. Awas ada yang tidak halal! © Nuran Wibisono

Saya mencari pengelola Tak Kie untuk mengobrol. Namun sang kasir —yang ternyata juga salah satu pengelola— membuat saya jadi agak segan. Ia tampak sibuk dengan lembaran uang dan tamu yang datang membayar. “Nanti saja sama kakak saya ngobrolnya” ujarnya pendek. Saya menurut.

Sang kakak yang dimaksud adalah A Yauw alias Latif Yunus. Saat itu ia sedang keluar. “Kalau mau ngobrol sebenarnya enak hari biasa aja, jangan akhir pekan,” kata sang kasir. Menurutnya, tamu jadi berlipat ketika akhir pekan. Agak susah mencari waktu santai buat ngobrol.

Sang Kasir. © Nuran Wibisono

Selagi menunggu Latif datang, saya berkeliling sejenak di seputar Gang Gloria. Mencoba Kari Lam, kari gagrak Medan yang juga tak kalah legendaris itu. Pembeli bisa memilih mau kari ayam kampung atau kari sapi. Saya memilih kari ayam kampung. Dagingnya dipotong-potong dengan menggunakan gunting klasik —sekujur bagian gunting terbuat dari besi. Sesekali gunting memotong angin, menimbulkan suara denting besi beradu yang merdu sekaligus sangat puitis.

Setelah Kari Lam tandas, petualangan saya belum usai. Saatnya mencari nasi tim A Ngo. Bondan Winarno, penulis terkenal sekaligus penyuka kuliner kelas wahid pernah merekomendasikan nasi tim itu dengan pujian, “…nasi tim-nya harum dan sangat lembut. Mungkin yang terbaik di seluruh Indonesia.”

Sayang sekali warung nasi tim A Ngo ini sudah tutup. A Ngo memang sudah berusia lanjut. Bondan mengatakan kalau sang maestro nasi tim itu hanya berjualan pada akhir pekan saja, dan dengan durasi yang tak terlampau panjang. Saya menengok jam. Sudah lebih dari jam 1. A Ngo mungkin sekarang sudah beristirahat di kamarnya sembari mengibaskan kertas koran di depan wajahnya untuk mengusir peluh akibat terik yang kurang ajar.

Segelas kopi susu. © Nuran Wibisono

Selepas perut kenyang, maka saya kembali lagi ke kedai kopi Tak Kie. Kali ini saya ingin mencoba kopi hitamnya. Tetap dengan es, karena terik semakin tak sopan. Maka ketika kopi tersaji, langsung saya tenggak. Kali ini rasa asam yang dominan ala Arabika menyerbu lidah dan dinding mulut. Nuansanya sangat berbeda dengan kopi susu yang manis itu.

Ketika kopi tinggal separuh gelas, akhirnya Latif datang dan duduk di meja kasir. Saya menghampirinya, mengajaknya sedikit berbincang.

Segelas kopi es, ceban saja. © Nuran Wibisono

Latif adalah pria keturunan Cina berusia akhir 6 dekade. Rambutnya sudah banyak yang putih. Namun bicaranya masih lantang. Ia masih tegas. Latif masih yahud meladeni obrolan bahasa Mandarin para konsumennya. Daya ingatnya masih kuat. Ia selalu menyiapkan kertas untuk catatan pesanan tiap meja. Walau senyumnya sedikit pelit, ternyata ia ramah dan bersedia menjawab apapun pertanyaan saya.

“Usaha ini dimulai dari kakek saya. Namanya Kwie Tjong, asli dari Kanton,” kata Latif. Sang kakek memulai usaha kedai kopi dalam bentuk kaki lima. Tempat berdagang pertamanya tak jauh dari seputaran Glodok. Pada tahun 1930, barulah Kwie membeli sepetak bangunan di Gang Gloria yang sampai sekarang dikenal sebagai kedai kopi Tak Kie.

Latif yang anak ketiga dari 9 orang bersaudara mewarisi kedai kopi ini dari sang bapak. Ia bersama 7 orang saudaranya mulai meneruskan bisnis keluarga ini pada tahun 1973. Hingga sekarang mereka masih kompak. Mereka sudah punya bagian masing-masing. Ada yang bagian memasak kudapan, menyajikan ke pengunjung, manajemen, hingga mengurus pembelian biji kopi.

A Yauw alias Latif. © Nuran Wibisono

“Biji kopinya adalah Arabika dari Lampung. Tapi kami ngambilnya di Jakarta, dari 5 pemasok,” terang Latif. Biji-biji yang sudah di roast itu lantas diproses sendiri dengan mesin pemroses kopi tradisional yang sudah ada semenjak puluhan tahun lalu. Kedai kopi Tak Kie bisa menghabiskan 10 kg kopi bubuk dalam 10 hari. Kalau sedang ramai, bisa habis dalam waktu 7 hari saja.

Memegang tampuk usaha kedai kopi legendaris tentu membawa banyak cerita. Salah satunya adalah keterkejutannya ketika tahu bahwa masih ada banyak anak muda yang mau minum kopi di tempatnya. Ia sempat merasa kalau anak-anak muda sekarang lebih suka minum kopi di kedai kopi modern, dengan pendingin udara dan sambungan internet nirkabel. Namun pandangannya berubah karena acap menemui gerombolan anak muda yang minum kopi di Tak Kie.

“Bahkan ada yang dari Depok, dari Bekasi, jauh-jauh datang ke sini buat minum kopi. Itu saya kaget,” tuturnya sembari memberi satu senyum. Senyum pertama hari ini yang saya lihat dari beliau.

Salah satu kebanggaan lainnya adalah saat calon Gubernur DKI Jakarta Jokowi —sekarang sudah resmi jadi Gubernur— mampir ke kedainya. “Pak Jokowi datang dan minum kopi di sini, ini fotonya,” ujarnya sembari mengeluarkan beberapa lembar foto berukuran 4R dari lacinya. Di foto itu tampak Jokowi yang memakai baju kebesarannya, kotak-kotak merah putih, minum kopi dengan tenang. Juga foto bareng dengan Latif dan keluarganya.

Meski masih banyak pengunjung yang rela datang demi nostalgia dan rasa kopi yang enak, Latif sadar kalau kedai kopi ini akan menghadapi ancaman laten yang besar. Yakni mengenai penerus.

Latif dan saudara-saudaranya memang sudah tak muda lagi. Tak mungkin mereka akan mengurus kedai kopi Tak Kie hingga 10 atau 20 tahun mendatang. Sedang generasi penerus mereka sepertinya tak tertarik untuk menjadi pemegang tampuk bisnis keluarga.

“Anak-anak pada kerja masing-masing. Kalau ada yang mau nerusin ya lanjut. Kalau gak ada ya bubar,” kata Latif sembari terkekeh. Ia menghadapi masalah ini dengan santai belaka. Padahal saya sedikit waswas kalau kedai kopi ini akan hilang ditelan zaman yang semakin kencang berlari. Namun semoga ini hanya ketakutan saya saja.

Saya menyeruput sisa setengah kopi es saya. Segarnya masih melenakan. Di luar sepertinya panas sudah hampir minggat. Sedang beberapa pegawai Tak Kie sudah mulai membersihkan meja. Beberapa menit lagi menuju jam 2 siang, kedai ini akan tutup. Setelah gelas tinggal berisi udara, saya mengangkat pantat dari kursi, beranjak keluar. Keluar dari Gang Gloria, saya mendecak kesal. Macet.

Post Comment