Obrolan Sore dan Dongeng Zonder Petuah di Post Santa
Yusi Avianto Pareanom adalah orang yang keras, bahkan pada dirinya sendiri.
Saya menemui kesan itu setelah mendengarkan kesaksian dari Budi Warsito, pengelola Kineruku sekaligus pemilik blog budiwarsito.net. Budi punya hobi yang menarik dan mendatangkan banyak pahala: mengetik ulang cerita pendek untuk kemudian ditampilkan lagi di blog. Dalam satu kesempatan, dia mengetik ulang Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai.
“Bahkan cerpen itu, kalau saya tak salah ingat, berbeda dengan yang ditampilkan di Rumah Kopi Singa Tertawa,” kata Budi.
Sore itu, para penikmat karya-karya Yusi sedang berkumpul di Post Santa, sebuah toko buku dan tempat reriung yang asyik di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Agendanya adalah diskusi novel terbaru Paman Yusi —begitu saya memanggilnya, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi.
Buku ini sudah diperam lama sekali. Namun beberapa bagiannya sudah pernah dimuat di beberapa media, termasuk di buku kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa. Dengan bocoran karya yang begitu berkualitas sekaligus menggoda, serta masa pengerjaan yang begitu lama, wajar kalau banyak orang menuntut Paman untuk segera menyelesaikannya. Padahal awalnya buku ini adalah proyek iseng belaka, yang dikerjakan selagi bosan menulis Anak-Anak Gerhana, novel yang menceritakan pengalaman tumbuh besar anak-anak Orde Baru. Tapi ternyata Raden Mandasia mbrojol lebih dulu ketimbang kakaknya.
Saya jelas setuju dengan perkataan Mas Budi. Paman adalah penulis yang cermat, kalau tidak mau dibilang terlalu berhati-hati. Penulis kelahiran Semarang ini begitu telaten membaca ulang naskahnya, satu dua lima sepuluh kali, agar tak menemukan keteledoran bahkan sekecil apapun. Wajar kalau pengerjaannya begitu lama.
“Yang kalian baca sekarang itu adalah draft keempat,” kata Ardi Yunanto, lelaki yang berjasa sebagai penyelaras sekaligus lawan berdiskusi yang tangguh bagi Paman.
Raden Mandasia berkisah tentang petualangan tiga orang: Pangeran Mandasia dari kerajaan Gilingwesi yang punya hobi ganjil, Raden Sungu Lembu yang tumbuh terbakar oleh dendam, serta Loki Tua sang juru masak bermulut pedas namun punya tangan midas yang bisa mengolah apapun jadi makanan enak. Mereka bertiga menuju Barat, dengan tujuan yang berbeda-beda. Di tengah perjalanan jauh itu, mereka menemui berbagai orang aneh dan rangkaian peristiwa yang membuat kisah Sun Go Kong terdengar seperti kisah rombeng belaka.
Dalam suatu kesempatan, Paman bilang ini adalah dongeng tanpa pesan moral. Sebab memang benar adanya, tak ada pesan moral di sini. Tak ada selipan pesan untuk jadi orang baik, tak ada himbauan untuk selalu jadi orang sopan, apalagi pesan agar kalian rajin sembahyang.
Bahkan, menurut saya, memberi jenis kelamin pada novel ini pun sangat susah. Novel silat? Iya. Novel kuliner? Bisa juga. Novel erotik? Cukup memenuhi syarat. Dongeng? Jelas iya.
Sore itu diskusi berjalan menarik. Ada beberapa pertanyaan yang menggelitik. Antara lain dari Avi, yang menurut saya memberikan pertanyaan cukup penting sekaligus cukup bikin Paman terkekeh sembari gelagapan.
“Novel ini terasa sekali male gaze-nya,” kata Avi.
Menurut perempuan bernama Syarafina Vidyadhana ini, yang kemudian diamini oleh Maesy dari Post Santa, buku ini memang amat maskulin. Menganggap bahwa perempuan adalah objek. Yang paling kentara adalah bagaimana perempuan di novel ini begitu mudah diajak bergelut di ranjang.
Paman sendiri bilang kalau karakter-karakter seperti itu adalah kebutuhan cerita. Sama sekali tidak mencerminkan dirinya. Bagi saya pribadi, penggambaran perempuan di Raden Mandasia memang akurat. Sebab pada masa itu perempuan memang kerap direndahkan. Dianggap cuma harus tahu bersolek, memasak, dan cara melayani di ranjang. Karena itu dalam budaya Jawa, kodrat perempuan adalah pawon, paturon, dan pangreksa. Bisa masak, bisa melayani di ranjang, dan bisa menjaga serta melayani suami.
Obrolan berlangsung hangat. Ada beberapa pernyataan yang memuji novel ini. Seperti Setyo Saputro yang mengatakan bahwa Raden Mandasia adalah calon novel terbaik tahun ini. “Saya jarang menunggu sesuatu dengan semangat, tapi memang novel ini pantas untuk ditunggu,” katanya.
Sedangkan Dea Anugrah, pemuda Korea Utara yang kini dianggap sebagai salah satu junjungan warga Kepulauan Rempah kalau bicara soal sastra, memuji novel ini karena karakter dan suara yang mereka bawa.
“Yang menarik bagi saya adalah suara-suara para karakternya. Mereka punya suara sendiri, berbeda tiap karakter. Mereka juga punya motif yang jelas,” kata Dea.
Bagi saya pribadi, buku ini memang dahsyat. Sebagai bocah yang tidak tumbuh di era berjayanya cerita silat Kho Ping Ho, bacaan silat dan dongeng masa lampau saya hanyalah Wiro Sableng, atau dari komik kungfu macam Kungfu Boy dan Kenji.
Ketika Nagabumi terbit, saya senang bukan kepalang. Tentu Nagabumi bukannya tanpa cacat. Tokoh Pendekar Tanpa Nama terasa begitu jemawa dan amat sakti mandraguna. Bahkan terluka saja nyaris tak pernah. Dan bagi saya buku ini kurang layak disebut sebagai dongeng. Di balik kisah dan kalimat yang begitu indah, buku ini seperti jelmaan buku sejarah, lengkap dengan catatan kaki, yang dibumbui dengan sedikit kisah silat dan filsafat —ini yang bikin saya puyeng.
Karena itu, Raden Mandasia terasa seperti oase. Ia tipikal dongeng yang bisa membawamu menuju imajinasi-imajinasi tak berbatas. Liar, zonder petuah, dan menghadirkan kegilaan-kegilaan yang tak bakal kau sangka. Buku ini juga menghadirkan pendekar-pendekar yang begitu manusiawi. Bisa terluka, bahkan dihajar oleh keroyokan para prajurit kroco, tak peduli sesakti apapun kamu. Sesuatu yang mustahil dialami oleh Pendekar Tanpa Nama yang seperti Rambo dalam jagat silat.
Lagi-lagi, Paman kembali mengingatkan saya dan juga semua pembacanya untuk terus menjejakkan kaki pada tanah. Agar tidak terlalu tinggi kamu terbang lalu lupa hal dasar seperti logika. Bahkan meski itu dongeng sekalipun.
“Semestanya memang dongeng. Karena semestanya dongeng, aku bisa menyelundupkan hal-hal yang kalau di keseharian adalah hal yang agak aneh. Tapi tetap, ceritanya harus logis,” ujar Paman.
Dengan penggabungan antara dongeng, kisah silat, makian-makian purba, karakter yang hidup dan punya suara sendiri, motif yang masuk akal, dan logika yang beriringan, wajar kalau hasilnya adalah novel yang amat brilian sekaligus menghibur.
Maka, Raden Mandasia adalah buku yang patut kamu baca. Bahkan berkali-kali.
Post Comment