Mencari Kopi Liberika
Setidaknya sudah dua kali saya ke Kalimantan Barat khusus untuk mencari jenis kopi ini: Liberika. Tapi nasib belum mempertemukan kami hingga kemujuran mendatangi saya.
Sebetulnya tujuan saya ke Jambi mencari lahan kopi Arabika yang punya rasa kayumanis. Kita tahu, Jambi terutama Kerinci adalah penghasil kayumanis terbaik di dunia. Dan salah satu keunikan kopi adalah kemampuannya untuk menyerap karakter rasa pohon dan tanah di sekitarnya. Hal itulah yang bisa menjelaskan kenapa kekayaan citarasa kopi Arabika di Indonesia susah untuk ditandingi negara manapun.
Usai berburu kopi Arabika di Kerinci, perburuan saya lanjutkan di Serampas, Merangin. Perjalanan yang cukup melelahkan. Lebih melelahkan lagi mengetahui kondisi kopi Arabika yang memilukan karena sistem budidaya dan tataniaga yang belum sehat. Perjalanan saya lanjutkan ke Tanjung Jabung khusus untuk melihat kopi Liberika yang sudah lama saya cari.
Keletihan saya terbayar lunas. Ini kopi yang selama ini saya cari. Kopi Liberika memiliki keunikan karena bisa tumbuh baik di lahan gambut dengan ketinggian lahan cukup di 40 mdpl. Pohonnya tinggi, buahnya besar, rasanya lebih berkarakter dibanding robusta. Kopi ini sering disebut sebagai Kopi Dayak karena konon banyak tumbuh dan dikonsumsi oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.
Harga kopi Liberika di sana saya kira sudah sampai di tingkat keekonomian karena sekilo ‘biji beras’ (green beans) berharga 30.000 sd 35.000 rupiah. Bandingkan dengan kopi Robusta yang masih di kisaran 15.000 sd 20.000 rupiah. Tapi tentu masih jauh dibanding kopi arabika yang bisa laku di atas 50.000 rupiah, bahkan untuk kopi Arabika dengan karakter rasa tertentu bisa mencapai 100.000 rupiah.
Cara petiknya juga lumayan lebih tepat dibanding cara petik Robusta yang dirontokkan begitu saja. Tidak dipetik merah dengan menyisakan tangkai di dahan. Mungkin karena soal harga.
Di dunia, jenis kopi ini tinggal kurang dari 1 persen dari perdagangan kopi. Maka tidak salah jika digolongkan menjadi kopi unik. Kalau Indonesia bisa memanfaatkan jenis kopi ini, tentu bisa jadi produk dengan keunggulan kompetitif. Kita “hanya” bersaing dengan Filipina dan Thailand. Dengan hamparan lahan gambut yang kita miliki, kita bisa memproduksi jenis kopi yang buahnya bisa sebesar duku dan jika tidak dirawat ketinggian pohon ini bisa sampai 6 meter bahkan lebih.
Liberika termasuk kopi yang lebih tahan penyakit dibanding Arabika. Tapi untuk daya tahan penyakit, Robusta masih juaranya. Penyakit yang saya lihat di hamparan kebun kopi Liberika ini adalah jamur. Karena saya bukan pakar budidaya, saya tidak tahu bagaimana cara menanggulangi. Tapi selama di lapangan, saya didampingi oleh aktivis pertanian organik. Menurutnya, penyakit itu bisa diatasi asal dilakukan dengan cepat.
Naluri saya menyatakan bahwa kopi ini akan mudah diterima oleh lidah kebanyakan orang Indonesia. Dengan pertumbuhan kelas menengah yang cukup bagus dan permintaan domestik akan kopi yang meningkat, saya kira Liberika akan segera mendapatkan tempat di lidah masyarakat Indonesia.
Insyaallah, saya akan mencoba ikut menjualnya. Tapi belum untuk sekarang ini. Sebab persoalan yang lebih mendesak adalah segera “disembuhkan” dulu penyakitnya. Kalau tidak, hamparan kopi unik itu bisa segera menjadi pohon-pohon kopi yang meranggas dan mengering.
Penasaran dengan rasa kopi Liberika? Kapan-kapan kita cicip bareng. Saya punya 3 kilogram biji berasnya.
Tuntas sudah perburuan kopi saya di Jambi selama 8 hari. Asap masih tebal. Pesawat yang saya tunggu tak kunjung datang. Sambil menunggu pesawat yang tidak jelas kapan datangnya, saya tulis status ini. Semoga berguna.
Salam sruput.
25 September 2014
Post Comment