‘Mehak, Mahe Tuni’: Ngopi dan Ngebul di Papua Barat
“Kalau di sini bilang pamali. Biasa nanti ada orang meninggal,” kata tuan rumah. Begitulah, rencana membuat tulisan ringan seputar ngopi dan ngebul akhirnya membuat saya gentar juga.
Semua bermula saat saya menumpahkan kopi saat mengetik. Laptop saya secara tidak sengaja menyenggol cangkir dan membasahi tikar yang terbuat dari pandan. Sebelum sempat mengelap bekas tumpahan kopi menggunakan kain lap, pemilik rumah mengikuti dari belakang lantas lekas-lekas menyuruh saya mengoleskan bekas kopi itu di kening. Untuk menolak bala, katanya.
Seperti halnya di kampung maupun di kota, baik kota besar atau kota kecil dewasa ini, ngopi dan ngebul juga menjadi kebiasaan dari suku Mbaham Matta. Salah satu suku yang mendiami Fakfak, Papua Barat. Dua kebiasaan itu bahkan telah mengakar menjadi tradisi yang lekat pada alam budaya Mbaham Matta. Tidak hanya kaum laki-laki, tapi juga perempuan.
Masyarakat Mbaham Matta punya cara tersendiri dalam menempatkan kopi dan rokok sebagai bagian dari hidup sehari-hari. Latar belakang mata pencaharian mereka yang mayoritas adalah petani ‘henggi’ (pala), membuat kebiasaan ngopi tidak hanya ditemukan di rumah, tapi juga bisa didapati di kebun pala, sebagai penghormataan untuk pohon pala. Menikmati kopi di kebun di dekat pohon pala (istilah masyarakat setempat ‘kasih makan pala’) adalah juga sekaligus ekspresi pengharapan agar buah dapat tumbuh lebat saat masa panen mendatang.
Ada sebutan tersendiri untuk kopi dalam bahasa Iha (bahasa Ibu dari orang Mbaham Matta) yaitu “Mehak”. Mehak adalah kata lain dari kopi ampas, yang tidak hanya biasa disuguhkan di waktu senggang saja, tapi juga pada saat ada ritual adat seperti perkawinan. Bagi orang Mbaham Matta, Mehak menjadi semacam menu wajib saat para tetua adat melangsungkan pembicaraan. Barangkali, mirip dengan kaum muda masa kini yang telah terbiasa menggunakan kata ‘ngopi’ itu sendiri sebagai kata ganti nongkrong atau kumpul-kumpul. Lebih jauh lagi, Mehak diyakini juga punya kelebihan magis. Melalui perantara Mehak, para orang tua yang dianggap memiliki daya linuwih dapat menerawang dan membaca pikiran dan kepribadian orang. Selain itu, Mehak juga dapat difungsikan untuk mencari orang hilang, melalui bercak ampas yang diminumnya. Bahkan, ia juga bisa digunakan untuk menebak angka togel yang akan keluar. Mengejutkan, bukan?
Dulu orang Mbaham Matta biasa memproduksi Mehak sendiri. Bijinya dipetik dari pohon kopi yang tumbuh di kebun. Pohon-pohon kopi ini jumlahnya tidak banyak. Alih-alih menanam untuk nanti saat berbuah bisa dijual, orang Mbaham Matta –khususnya di Kampung Mamur tempat saya pernah tinggal selama satu bulan di sana– menanam kopi untuk dikonsumsi sendiri. Cara penyuguhannya, biji kopi yang telah diolah menjadi bubuk dituang bersama air rebusan, seperti diklothok, kalau dalam versi ngopinya orang Jogja.
Dulu, jauh sebelum komoditas gula dikonsumsi oleh masyarakat, kopi biasa direbus bersama dengan perasan air tebu. Tapi kini, kebiasaan itu sudah tidak lagi dijumpai. Apalagi sejak kopi instan familiar karena lebih praktis penyajiannya. Sebagian orang kini lebih terbiasa menyeduh kopi cap ‘Kopi Senang’ (Kapal Api-nya orang Papua Barat), dengan sebagian orang yang masih tetap mempertahankan cara penyeduhan dengan direbus bersama-sama dengan air mendidih.
Selain Mehak atau kopi, ada juga jenis rokok lokal yang biasa disebut sebagai ‘rokok negeri’. Dalam bahasa setempat, rokok negeri ini dijuluki ‘Mahe Tuni’. Mahe berarti rokok dan Tuni berarti asli. Asli dari tanaman yang tumbuh di tanah Papua. Tembakaunya berasal dari tembakau lokal, dengan pembungkus yang terbuat dari daun nipa yang dikeringkan. Daun nipa yang sudah kering kemudian dipotong kecil-kecil, seukuran kertas pembungkus tembakau pada umumnya. Untuk tembakaunya sendiri, dulu, alat potong untuk mengiris daun yang sudah dikeringkan biasa berasal dari bambu. Tapi kini bambu pemotong sudah berganti dengan pisau.
Mehak dan Mahe Tuni dapat dibilang merupakan hidangan satu paket. Kalau sudah ada dua barang itu, orang dapat berbincang sampai lupa waktu. Kedekatan masyarakat Mbaham Matta dengan Mehak dan Mahe Tuni tidak saja terlihat saat ia menjadi bagian dari hidangan di kala senggang. Paket kopi dan rokok ini juga dapat ditemui di dalam adat perkawinan dan menjadi bagian uborampe. Pada sebuah prosesi pernikahan, ada satu tahapan di mana Mahe Tuni dinyalakan lalu dihisap oleh mempelai laki-laki dan perempuan secara bergantian.
Terkait keberadaan Mahe Tuni dan adat perkawinan, ada lagi yang lain. Bila misalnya di masyarakat Jawa dewasa ini, undangan perkawinan dibuat dari kertas dengan desain komputer dan diproduksi secara massal, bagi orang Mbaham Matta undangan perkawinan tidak hanya disampaikan melalui tulisan di kertas, tapi juga disampaikan secara simbolik, yakni melalui irisan daun tembakau kering dibungkus dengan daun pisang dan diikat bersama dengan daun nipa (daun pembungkus tembakau) sebesar ibu jari. Satu ikat, adalah undangan untuk satu kampung. Bila tembakau itu ada sebelas ikat –seperti yang pernah saya ikuti– berarti ada sebelas kampung yang diundang. Saat benda itu sampai di sebuah kampung, orang sudah tahu bahwa ada undangan pernikahan. Istilahnya Mahe Nggoja: tembakau dibungkus dengan daun pisang kering.
Inilah sekelumit gambaran tradisi ngopi dan ngebul di Indonesia bagian timur. Yang entah mengapa membawa pikiran saya melayang pada kebiasaan ngopi di Indonesia bagian barat. Ngopi dan ngebul menjadi geografi budaya manusia Indonesia. Dari ujung, ke ujung. Dan bila ada yang coba menghilangkan salah satu dari keduanya, baik di timur maupun di barat, berarti ia sedang menghilangkan keanekaragaman budaya manusia Indonesia.
Post Comment