Warung Kopi Dulur Dewe : Masa Depan yang Harus Diperjuangkan
Menikmati secangkir kopi di pagi hari merupakan kegiatan yang tak bisa dilakukan semua orang, termasuk saya sendiri. Bangun pagi hampir menjadi mitos bagi hidup saya. Ia, bangun pagi, bagi saya adalah saat jarum jam menunjuk angka 8 atau 9, itupun harus dipaksa dengan berisiknya suara alarm dan gedoran keras di pintu kamar oleh teman satu kos.
Seperti hari ini, mata saya baru terbuka saat jarum jam sudah mencapai angka 9 lebih sedikit. Dengan semangat pagi di sisa-sisa menuju siang, saya langsung beranjak menuju kamar mandi. Mengenakan pakaian rapi. Tak lupa mengoles sedikit pomade agar rambut tak acak-acakan karena sisa tidur semalam.
Dan ini tentunya, saya lalu siap untuk melakukan ritual ngopi pagi. Aktivitas yang beberapa hari ini mulai saya lakukan kembali. Berbekal perlengkapan laptop di tas dan seperangkat smartphone lengkap dengan power banknya, saya berangkat ke sebuah warung kopi bernama “Dulur Dewe”.
Perkenalan saya dengan warung kopi Dulur Dewe dimulai dari media sosial instagram bernama Cangkrukan Jember (@CangkrukanJBR). Akun ini merupakan akun instagram yang sering me-repost atau meregran tempat-tempat ngopi yang ada di wilayah Jember dan sekitarnya.
Sekitar 10 menit saya sampai di warung kopi Dulur Dewe. Lokasinya berada di Jalan Riau No. 57, tak jauh dari Universitas Jember, sehingga tak perlu waktu lama dari tempat kos saya di jalan Kalimatan. Saya memesan secangkir kopi hitam dengan memilih tempat duduk nyaman dan bersiap memulai ritual minum kopi pagi saya.
Tempat warung kopi Dulur Dewe berkonsep sangat sederhana. Hanya ada beberapa tempat duduk yang disediakan dan memakai kursi dan meja dari kayu yang juga sederhana. Di samping kanan dan kiri warung ditutup tirai bambu untuk menghalau silau sinar matahari. Tak berbeda dengan warung kopi sederhana kebanyakan, warung kopi Dulur Dewe berada di area terbuka. Sangat nyaman untuk melakukan ritual menikmati kopi di pagi hari.
Di tengah gempuran tempat ngopi yang berkonsep cafe, semi cafe, ataupun angkringan modern yang ada di Jember, warung kopi Dulur Dewe tetap mempertahankan konsep warung kopi sederhana dengan ornamen bambu sebagai bagian utamanya. Konsep bambu yang dipertahankan membuat memori kita sedikit ditarik ke belakang tentang nikmatnya menikmati secangkir kopi dengan gaya-gaya khas cangkrukan zaman dulu.
Kendati begitu, warung kopi Dulur Dewe tetap mengikuti tren ngopi yang berkembang belakangan; tersedia wifi gratis, layar televisi, colokan untuk mengisi ulang daya handphone dan juga beberapa lagu-lagu hits yang diputar melalui sound system kecil.
Warung kopi Dulur Dewe buka 24 jam. Menurut Mas Trisna, si empunya warung kopi, jam ngopi setiap orang berbeda-beda, ada yang suka di pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari ataupun dini hari hingga menuju pagi. Memang, tak jarang sulit menemukan warung kopi yang buka hingga jam 3 pagi ke atas. Meski ada, itupun berada jauh dari daerah kampus dan tak banyak. Karena alasan itulah Mas Trisna membuka warung kopinya selama 24 jam non stop.
Menu yang ada di warung kopi Dulur Dewe juga tak berbeda dengan warung-warung kopi sederhana lainnya. Akan tetapi ada yang unik dalam penyebutan minuman di warung kopi Dulur Dewe. Kopi Jomblo misalnya. Kopi Jomblo sebenarnya adalah kopi hitam. Menurut si empunya warung, istilah jomblo dipakai karena rasa kopi hitam sama dengan perasaan seorang jomblo; banyak pahitnya, sedikit manisnya.
Lain lagi dengan penyebutan makanan. Adalah Mie Tante. Mie Tante bukan mie yang dibuat atau disajikan oleh seorang perempuan paruh baya atau yang sering dipanggil tante-tante. Mie Tante adalah Mie seperti kebanyakan mie goreng ataupun mie kuah lainnya, hanya saja tanpa ada tambahan telur goreng ataupun telur kukus sehingga disebut Mie Tante (Mie Tanpa Telur).
Nama Dulur Dewe pun mempunyai filosofi dalam. Berbekal pengalaman masa lalu si empunya warung, nama Dulur Dewe diambil dari pegalaman pertemanan yang erat dari Mas Trisna dengan teman-temannya di perantauan. Pemuda asli Tanggul, Jember ini merantau ke Kota Malang untuk berkuliah di salah satu universitas di Malang. Di pertengahan tahun kuliah, kedua orang tua Mas Trisna meninggal dunia. Di tengah kesedihan dan beban hidup yang harus dipanggul sendiri itulah, Mas Trisna dipertemukan dengan teman-teman yang sangat membantunya menghadapi kesedihan, termasuk saat menghadapi masalah perekonomian yang diembannya sendiri semenjak kedua orang tuanya meninggal.
Ikatan pertemanan yang mereka jalin sudah layaknya seperti “Dulur Dewe” (Saudara Sendiri). Maka jangan heran, menikmati secangkir kopi di sini, akan disambut Mas Trisna dengan sangat ramah. Karena baginya, orang yang datang ke warung kopinya bukan hanya sekadar konsumen semata, lebih dari itu, ia dianggap sebagai teman sendiri ataupun saudara sendiri.
Bagi Mas Trisna, kenyamanan konsumen adalah sebuah prioritas. Dari pengalaman hidupnya itulah, warung kopi yang dia dirikan bukan hanya untuk sekadar ingin mencari keuntungan bisnis saja, akan tetapi juga ingin mencari pertemanan dan persaudaraan dari secangkir kopi yang dia sajikan di warung kopinya. Bagi Mas Trisna, rejeki bukan hanya tentang materi, tapi pertemanan ataupun persaudaraan juga merupakan rejeki yang patut untuk disyukuri.
Beberapa saat kemudian secangkir kopi hitam pesanan saya pun datang. Secangkir kopi yang disajikan dengan cangkir kecil. Sependek sepengetahuan saya, hanya beberapa warung kopi saja di Jember yang menerapkan sajian kopinya dengan cangkir kecil seperti ini. Dengan harga sekitar Rp. 4000,- saja, kopi di cangkir kecil khas Dulur Dewe ini pun sudah bisa dinikmati. Secangkir kopi dari bubuk kopi giras ini terasa sangat pas bagi mereka yang menyukai kopi bercita rasa pahit. Sementara bagi mereka yang tidak begitu menyukai kopi dengan cita rasa pahit, tidak perlu khawatir, karena bisa langsung memesan secangkir kopi hitam dengan takaran gula sesuai permintaan. Seperti yang dikatakan si empunya warung, kebiasaan dan lidah setiap orang dalam menikmati kopi tak sama sehingga selera kopinya pun juga tak bisa disamakan. Ada yang suka pahit. Ada yang manis.
Dengan berbekal kepahitan dari kopi jomblo (kopi hitam) khas Dulur Dewe inilah, saya bisa melakukan ritual ngopi pagi dengan cita rasa kopi pahit yang pas di lidah. Dan tentu saja, kembali mengerjakan skripsi yang beberapa bulan kemarin sempat saya lupakan. Karena diujung sisa semester kuliah saya sekarang, bukan lagi pacar yang harus diperjuangkan tapi lembaran tumpukan kertas berbalut kata revisian yang harus saya selesaikan. Sebuah masa depan yang harus diperjuangkan dengan status kejombloan secangkir kopi yang pas untuk dinikmati.
Post Comment