Sebuah Usaha Berburu Resep Kopi Tahlil
Di pulau Alor, NTT, jauh di timur sana kita mengenal racikan kopi yang dipadukan dengan rempah. Orang Alor menyebutnya sebagai kopi khas Alor. Jauh dari kepulauan Alor, tepatnya di Kota Batik, Pekalongan, racikan kopi yang hampir sama juga ada. Kopi yang hanya bisa ditemui di Pekalongan. Kopi yang akrab disebut dengan nama Kopi Tahlil.
Sesuai dengan namanya, Kopi Tahlil memang akrab dengan tradisi Tahlilan yang dilakukan oleh warga Islam NU, khususnya di Jawa. Dalam khazanah kekinian, tahlilan menjadi salah satu khazanah Islam Nusantara.
Tahlilan merupakan ritual mendo’akan jenazah setelah sepeninggalnya berturut–turut pada 3 hari (nelung ndino), 7 (mitung ndino), 40 (matang puluh), 100 (nyatus), hingga 1000 hari (nyewu). Selain itu, Tahlil juga jamak dilakukan saat malam Jum’at Kliwon atau pada malam hari besar Islam. Di malam-malam dimana do’a dan dzikir dilantunkan inilah Kopi Tahlil terlahir.
Kini Kopi Tahlil tidak lagi dikonsumsi hanya sebagai teman Tahlilan saja. Ia membaur dalam kehidupan sehari–hari masyarakat kota Pekalongan. Maka jangan heran jika kini banyak dijumpai warung semacam angkringan yang menjajakan kopi tahlil sebagai menu utamanya. Salah satu yang paling tenar adalah warung Kopi Tahlil Usman yang terletak di depan Pasar Buah, Jl. Patiunus.
“Dulu aku sering nongkrong disini, mas. Sambil makan sego megono,” begitu celoteh teman saya, mas Syarif.
“Sampeyan ndak tahu kan, kalau Kopi Tahlil yang depan PPIP, yang sekarang tenar itu, yang punya dulunya pegawai di Warung Kopi Tahlil pak Usman ini.”
Saya mulai penasaran, karena setahu saya warung Kopi Tahlil depan PPIP itulah satu–satunya yang paling tersohor.
“Jadi, dulu itu aku sering liat mas–mas yang sekarang jualan di PPIP itu ya ngelayanin di warung kopi Tahlil Usman. Terus pernah waktu itu libur lama, sekitar dua mingguan. Pas buka yang jualan cuma mas itu (yang sekarang di PPIP). Cuma beberapa hari, terus libur lagi. Eh, tiba–tiba udah ada aja warung Kopi Tahlil depan PPIP itu.“
Beliau, memang asli kelahiran Pekalongan. Jadi sedikit banyak memang beliau tahu muasal warung Kopi Tahlil PPIP itu. “Ini juga dari beberapa sumber mas. Hasil kesimpulan saya, bisa jadi ada versi lain. Sekarang sih yang di Patiunus juga masih buka, mas. Tapi ya itu, namanya kalah tenar sama yang di PPIP“, begitu sambungnya.
Beberapa faktor yang membuat warung Kopi Tahlil PPIP lebih ramai menurut beliau adalah posisinya yang strategis. Pertama, letaknya di dekat perempatan jalan pasar Sorogenen yang otomatis banyak dilalui. Kedua, berdekatan dengan masjid, yang merupakan basis warga NU. Ketiga, letaknya di area ‘kampung Arab’ yang notabene asal muasal dari kopi itu sendiri.
Jauh sebelum kopi menyebar ke berbagai wilayah dunia, konon kopi memang difungsikan sebagai suplemen para sufi dalam menuntut ilmu, berdo’a dan bermunajat. Agar tetap kuat sampai larut malam. Hanya saja, kopi yang dikonsumsi para sufi ini belum dicampur dengan rempah sebagaimana Kopi Tahlil yang kita kenal sekarang ini, meski fungsinya hampir sama.
“Mas, kan dulu yang punya Kopi Tahlil PPIP pernah ngontrak di depan rumah. Kira–kira tahu nggak jenis kopi yang dipakai?“ Saya mencoba mengorek informasi resep kopinya lebih jauh.
“Waktu itu sih, bapak pernah dititipi buang sampah, mas. Nah waktu itu bapak lihat bungkus kopi yang dipakai buat kopi tahlil itu. Campur–campur sih mas, tapi yang jelas bukan pake kopi asli Pekalongan,“ mas Syarif menerangkan.
Kopi yang dimaksud itu mungkin kopi Owa. Jenis Kopi Original asli yang berasal dari daerah Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Kopi yang baru dikenal beberapa tahun belakangan ini, bahkan oleh masyarakat Pekalongan sendiri. Jadi bisa dipastikan, kekuatan Kopi Tahlil adalah pada olahan rempahnya.
Di Cilegon saya menemukan racikan kopi semacam Kopi Tahlil di sebuah warung Jahe Merah. Memang bukan kopi tahlil, oleh karenanya rasanya jauh sekali berbeda. Selain kopinya sudah tidak terasa, pun sensasi rempahnya lemah. Mungkin kalau dibandingkan Kopi Khas Alor, baru bisa sebanding. Dengan adanya racikan kopi semacam Kopi Tahlil ini, saya pernah membatin: ‘lalu dimana khas nya Kopi Tahlil?’
Tapi, toh kita semua tahu bahwa kopi tidak perlu menyandang sebuah gengsi dan kemewahan prestisius semacam “khas anu“ untuk membuatnya “wah”. Kopi yang mampu membawa nuansa egaliterlah yang paling juara. Mengumpulkan manusia–manusia untuk duduk bersama bercengkerama, berbicara tentang apa saja. Dan itu terkandung dalam segelas Kopi Tahlil, saya kira. Ia sederhana, nikmat sebagaimana adanya.
Jika anda penyuka kopi belum pernah mencobanya, tentu wajar dan tak mengapa. Hanya, tingkat makrifat diri dalam kekopiannya tentu agak kurang afdol saja. Hehe. Mengingat kedai Kopi Tahlil tidak hanya di Pekalongan saja. Di Cikini, Jakarta dekat TIM pun sudah ada. Tapi, ya jangan kecewa kalau sampeyan ndak menemukan kopi nikmat nan sehat yang hanya seharga 2.500 rupiah saja, di lesehan atas tikar, di emperan toko macam Kopi Tahlil Pekalongan Ini.
Menikmati Kopi Tahlil, layaknya menyesap kopi sebagaimana para sufi. Meski sebagian orang bilang kopi adalah candu lantas menjauhinya, tapi Karl Max bilang agama pun adalah candu. Jadi, mungkin mereka yang tidak ngopi adalah manusia yang tidak beragama.
Eh, benar tidak?
Yah, itu sih cuma anekdot saja, jangan dibawa serius. Makanya perbanyak ngopi dengan teman atau kerabat terkasih anda biar hidup semakin bahagia.
Post Comment