Rasa Madura di Secangkir Kopi
“Saya lulus MA Al-Islamiyah langsung datang ke sini (Yogyakarta),” ujar pria di depan saya ini, “Dua tahun lalu.”
Sore ini begitu lengang. Meski demikian, lengang itu beberapa kali pecah karena sahut teriakan, “Ngakan Bos?” atau “Ngenom Bos?” dari para pemuda yang menenteng-nenteng baki, sambil terus berjalan.
Ya, dengan setengah berteriak, orang-orang itu berseliweran menawari makan dan minum. Yang tak kalah khas dari tempat ini adalah, sekalipun waktu kami berbincang para pegawai itu memakai atasan batik, namun tetap menggunakan sandal japit. Hairuddin, nama laki-laki yang berbincang dengan saya ini, melempar senyum mengetahui saya terpaku pada rekan-rekannya.
“Teman saya mengajak saya bekerja disini,” lanjut pemilik rambut berekor ini, “pertama datang sudah dijamin tempat tinggalnya. Makan sudah disediakan setiap hari.”
Bersama 19 orang lain, ia datang dari Kepulauan Garam, Madura. Delapan belas di antaranya berasal dari Kabupaten Pamekasan. Sedang sisanya, termasuk Hanafi, si pemilik, asli Kabupaten Sampang. Hanya beberapa saja yang nyambi berkuliah. Sedangkan sebagian besar dari 20 orang itu memang khusus datang ke Yogya hanya untuk bekerja di sini, di tempat kami berbicara hangat sore itu. Mato Kopi.
Mato Kopi sendiri merupakan sebuah tempat nongkrong di bilangan Selokan Mataram. Mato Kopi, atau biasa disebut ‘Mato’ saja, yang dalam Bahasa Indonesia berarti pecandu, persis berada beberapa meter setelah jembatan mungil, di sisi kanan jalan, jika datang dari arah Gejayan.
Karena berada di Selokan Mataram, Mato Kopi bisa dikatakan tempat nongkrong yang strategis. Waktu tempuh yang diperlukan tak sampai 10 menit dari kompleks kampus UNY dan UGM. Begitu juga dengan waktu tempuh dari Universitas Sanata Dharma dan UIN Sunan Kalijaga, hanya beberapa menit saja.
Sekalipun para pengunjung harus masuk semacam lorong untuk sampai, tapi tak perlu khawatir. Ada satu plang besar berlatar kuning di atas gapura bambu yang menjadi salam selamat datang. Plang itu bertuliskan besar ‘Mato Kopi’ diiringi gambar cangkir kopi. Sekaligus menandai bahwa di dalam gapura ada tempat untuk memesan kopi dan kawan-kawannya. Sederhananya, Mato Kopi tidak terlalu susah ditemukan.
Masuk ke dalam gapura, pengunjung akan disuguhi pemandangan asyik. Jejeran kursi ukuran 3-4 orang saling berhadap-hadapan. Jalan yang terbentang antara gapura bambu dengan kursi-kursi itu adalah tempat parkir. Lumayan luas. Lebih ke dalam lagi, ada deretan lesehan yang disusun menyerupai lingkaran. Beberapa diantara lesehan tersebut terbuat dari bambu yang disertai sandaran punggung.
Selain lesehan bambu, ada tawaran menarik lainnya jika pelanggan memilih untuk nongkrong outdoor. Pelanggan bisa memandangi deret hijau dari pohon yang nampak di kejauhan. Bonusnya, ada semilir angin segar yang bisa dinikmati jika cuaca sedang baik. Mungkin hanya satu hal yang perlu dikeluhkan. Yakni, adanya dua bangunan raksasa, rumah susun, menghalangi pandangan para pengunjung. Kebetulan juga, saya memilih tempat berbincang di lesehan luar itu.
Jika ingin nyangkruk indoor, ada seruang lesehan cukup luas yang disediakan. Tepatnya di sekitar kasir. Keuntungannya jika memilih ngobrol di dalam, pengunjung bisa lebih mudah menjangkau beragam jajanan yang ada tepat di depan kasir. Mulai lemper, kue sus, sampai brownies.
“Kalau lagi ramai mas, bisa sampai 200 orang,” kata Hairuddin sambil mengira-ngira jumlah puncak kunjungan pelanggan Mato Kopi. Saat-saat sampai penuh sesak seperti itu, biasanya terjadi saat memasuki malam akhir pekan dan hari-hari libur. Ia mencontohkan semisal saat Tahun Baru. Ada bocoran dari Hairuddin tentang para pengunjung, “Di sini banyak sekali orang Jawa Timur yang datang.”
Lalu saya coba kejar terus dengan pertanyaan tambahan. Dari manakah pengunjung itu berasal. Ia menambahkan, “Rata-rata mahasiswa Mas. Kalau tidak salah ya mahasiswa UIN, sedikit yang dari UGM.”
Saya lalu coba membandingkan dengan tempat-tempat ngopi lain. Tapi kenapa Mato Kopi, tidak pernah sepi terutama jika malam hari.
“Mungkin karena harganya murah ya Mas,” jawabnya simpel.
Hal ini diafirmasi oleh seorang pelanggan bernama Cahyo, pelanggan kelahiran Yogyakarta, yang saya ganggu sebentar.
“Awalnya lidah saya tidak terlalu cocok. Tapi karena teman-teman sering ke sini, akhirnya suka. Mungkin karena lidah saya cenderung terbiasa dengan rasa manis.” Lalu ia menambahkan, “Tempatnya enak untuk diskusi. Selain itu tak perlu khawatir akan tutup tempatnya. Karena 24 jam.”
Beberapa saat kemudian, musik menghentak dari sound system di dalam. Saya tahu, ini jenis lagu dangdut remix.
Beberapa kali saya coba mengorek informasi mengenai bahan kopi yang dihidangkan oleh Mato Kopi. Sayang sekali Hairuddin tak tahu. “Kalau kopinya mas, itu langsung bos sendiri yang bawa. Saya dan teman-teman cuma bikin saja,” menjawab pertanyaan saya yang tadi.
Mereka tidak mau saya tanya-tanyai, karena, “Karena ada yang lebih dulu kerja di sini mas.” Beruntung akhirnya Hairuddin mau, dengan sedikit saya paksa.
Rasa penasaran saya ini berawal saat pertama kali saya berkunjung kemari. Sebagai pemilik lidah yang biasa menyesap kopi kental, pekat, dan pahit, saya sering mengeluh dengan rasa kopi di Yogyakarta. Dari penjelajahan saya dari berbagai warung, kedai, angkringan, dan kafe di kota ini, sebagian besar rasa kopi di sini cenderung manis. Selain itu, kopi juga dihidangkan dengan gelas besar. Ini aneh bagi saya. Akibatnya, kopi gelas besar tersebut juga encer dan lebih mirip teh. Sedangkan di Mato Kopi dan sedikit tempat lainnya, masih menggunakan cangkir untuk menghidangkan kopinya.
Saya makin penasaran tentang jenis kopi yang dipakai oleh Mato Kopi. Rasa dari kopinya dekat sekali dengan lidah Jawa Timur saya.
Keingintahuan saya tentang Mato Kopi makin menjadi-jadi. Ketika pria yang mengaku belum punya pasangan tapi memakai cincin di jari tangan kanannya ini berkata, “Di sini gak ada bagian-bagiannya mas.”
“Loh, kok bisa?” sahut saya cepat.
“Jadi setiap orang harus bisa semua,” timpalnya.
Saya mulai paham, pola kerja seperti ini banyak digunakan untuk usaha kecil. Tapi untuk ukuran Mato Kopi, dengan pekerja mencapai 5 (shift siang) atau 15 orang (malam), saya masih bingung, “Lalu bagaimana membagi kerjanya?”
“Mas Hanafi sudah membagi siapa yang kerja siang, siapa kerja malam. Saya permanen siang.” ujarnya.
Saya menimpali, “Maksud saya, bagaimana membagi, siapa yang bagian ini, siapa bagian itu. Kan tidak ada pembagian kerja?”
“Ya pokoknya kami saling pengertian Mas. Tapi ya gak pas semuanya masak, semuanya kasir. Kalau ada bagian yang kosong, yang mengganggur langsung ambil bagian itu,” jawab pria manis yang lahir 27 Juli 1992 ini dengan jelas.
Sontak benak saya langsung berputar-putar. Di tengah paradigma kerja perusahaan modern, dimana setiap pekerja hanya dan harus menguasai satu jenis pekerjaan, atau sering disebut spesialisasi, menjadi dominan. Sedang di sini, di Mato Kopi, pola kerja masih menggunakan relasi yang lebih tua. Artinya, tidak hanya hal-hal teknis seperti penguasaan pada spesifikasi kerja yang diutamakan, melainkan juga sensitivitas personal. Tentu saja toleransi juga masuk di dalamnya.
Contohnya sudah diberikan oleh Hairuddin. Bagaimana setiap orang mampu merasai semua rekan kerjanya. Saling memahami gerak-gerik teman satu timnya. Memang sistem kerja seperti ini sedikit mengorbankan kualitas. Seperti tidak adanya orang yang khusus mengolah bubuk kopi.
“Setiap orang beda-beda takarannya waktu bikin kopi mas,” katanya mencontohkan, “Karena sejak awal saya dan teman-teman ditekankan sama Si Bos harus bisa (membuat) dulu. Sampai bisa pokoknya.”
Tapi tak perlu terlalu khawatir, kelemahan ini bukannya tanpa solusi. Para pengunjung yang terlanjur kepincut dengan olahan kopi seorang pegawai, akan terus meminta pegawai tersebut membuatkannya kopi. Tidak mau yang lain. Padahal tiap pekerja sudah memiliki shift pasti, kalau tidak jam 6 pagi sampai 3 sore, ya jam 3 sore sampai 6 pagi.
“Ada pengunjung yang request. Gak mau dibuatin kalau si A misal,” jawabnya seolah mengerti pertanyaan yang belum saya lontarkan, “Jadi kalau misal si A bukan shiftnya kerja, tapi ketemu di depan, ya dia buatin (kopi).”
Di sisi lain saya berpikir, pola kerja non-modern (saya tak mau menyebutnya klasik atau tradisional) ini juga tak kalah mendatangkan laba. Dari kisaran harga minuman yang terbilang amat murah untuk ukuran tempat nongkrong asyik di Kota Yogyakarta, yaitu Rp 2.000,- (kopi hitam) s/d tak lebih dari Rp 10.000,- untuk jenis minuman soda ditambah berbagai jenis penyetan (pelbagai lauk-pauk yang dimasukkan ke dalam tempat sambal lalu diulek) berkisar Rp 5.000,-, Hanafi bisa melakukan renovasi Mato Kopi tiap tahun.
Tak kalah penting, kesejahteraan 20 orang pekerjanya juga sangat diperhatikan. Seperti dikatakan Hairuddin di atas, semua pekerja telah disediakan tempat tinggal dan makan. Jadi gaji merupakan pendapatan bersih bagi pegawai, tanpa dipotong biaya makan, dll.
Gaji pekerja pun juga mengalami kenaikan secara bertahap. Hal menarik lainnya, para pekerja boleh menabung atau berutang dulu dari gajinya bulan depan.
“Dulu pertama datang, gaji saya Rp 300.000,-. Sekarang lima setengah (Rp 550.000,-),” akunya, “Pokoknya terserah pekerja. Mau minta Rp 50.000,- atau satu juta juga terserah.” Tampaknya pemilik Mato Kopi memang telah memikirkan hal-hal sensitif bagi pekerjanya. Apalagi para pekerjanya berada jauh dari rumah.
Lagu mengalun semakin kencang. Para pengunjung makin banyak berdatangan dan mengisi bilik-bilik lesehan. Para pekerja juga semakin sering berlalu-lalang sambil berteriak. Hairuddin makin sering pula menengok ke arah kasir.
Saya merasakan keramah-tamahan yang khas.
Ia tak mampu berpamitan kepada saya, sekalipun saya juga menangkap kekhawatirannya atas kerja rekan-rekan yang bertumpuk karena ia saya ajak berbincang.
Saya coba kembali mencairkan suasana, “Sudah banyak teman di sini mas, selain teman-teman Mato?”
“Ada mas. Saya punya teman yang pelanggan disini. Kenal (lalu) sekarang akrab. Saya sering main ke kosannya,” ia seolah menahan sesuatu. Tak lama kemudian.
“Tapi jarang yang cewek, Mas,” seketika tawa kami meledak bersamaan.
Seperti Hairuddin, para pekerja di Mato Kopi juga menebarkan aura keramahan otentik Madura. Setiap pengunjung laki-laki, selalu disapa ‘Cak’. Sebutan ini, di tanah asal mereka, menandakan penghormatan yang besar.
Lebih jauh lagi, setiap pegawai juga selalu berusaha untuk membuka percakapan dengan pengunjung. Sejauh mata saya menyapu pandangan, beberapa lingkaran pengunjung selalu meriah. Meriah oleh kejenakaan para pekerja Mato Kopi yang setiap hari Sabtu dan Minggu selalu diwajibkan memakai baju batik.
Tidak seperti keramahan palsu ala pasar modern. Para pekerja di sini sering ikut tertawa ngakak dengan para pengunjung. Tidak ada sekat tebal yang dibangun oleh mereka yang bekerja di ‘tempatnya pecandu’ ini. Nampaknya hal ini juga disadari oleh para pelanggan.
Mendung datang. Sore pun semakin tua. Akhirnya Hairuddin saya persilahkan untuk kembali bekerja, sambil meminta maaf dan berterima kasih sudah menemani saya mengobrol.
Setelah menyesap habis kopi di cangkir saya, menyisakan hanya ampasnya, saya bersiap pergi. Saya sengaja melewati meja kasir sembari kepala saya sedikit melongok ke dalam. Tak lama, suara kencang, seperti membentak, sampai di telinga saya.
“Kaso’on Cak,” ujar beberapa orang dari dalam dapur berbarengan. Terima kasih.
Saya tersenyum, sudah saya duga. Sambil beranjak naik ke motor, “Dhe-padhe Cak,” sahut saya tak kalah keras. Terima kasih kembali.
Post Comment