Ngopi di Sudut Lapangan Bola
Gelandang sayap berambut jabrik itu menusuk dari sisi kanan. Dikecohnya dua pemain tengah lawan, lalu dengan umpan satu-dua ia membawa lari bola ke jantung pertahanan. Penonton bersorak riuh ketika gocekannya berhasil membikin jatuh bek lawan.
Jaraknya dari gawang masih dua puluh meter, tetapi ia menyadari bahwa kiper berdiri terlalu jauh. Ia bisa mencetak gol bila menendang ke tiang jauh. Digoceknya sekali lagi dan ia mendapat ruang tembak. Penonton menahan napas ketika sekuat tenaga ia menendang bola. Kiper telah mati langkah. Bola meluncur deras…
Lalu gelas kopi saya pecah.
Bola itu juga menghantam dua kaleng kerupuk dan menghancurkan lusinan bungkus rempeyek, dan baru berhenti saat mendarat di atas gorengan yang masih mengepul. Cabe rawit lalapannya ternoda lumpur.
Mak War, pemilik warung, memungut bola itu dan berjalan ke lapangan sambil menuding-nuding. Dari tempat saya duduk tak terdengar apa yang ia omelkan, tetapi melihat muka-muka pemain yang tertekuk dalam, tampaknya Mak War sedang murka, dan itu sesuatu yang lebih gawat ketimbang sekadar urusan ganti rugi.
“Ini ketiga kalinya dalam seminggu bola nyasar ke dalam warungku. Rekor,” ujar Mak War kepada saya kemudian. “Kalau ndak becus nendang bola, ya jangan ikut turnamen. Bikin jengkel saja.”
Suwarsih, nama sebenarnya Mak War, tak paham sepak bola, sehingga menjelaskan padanya perihal pemain-pemain top dunia yang tendangannya masih suka melenceng jauh dari sasaran adalah sebentuk kesia-siaan. Tetapi, ia memang pantas untuk marah; bagaimanapun, tak ada yang senang warungnya dihajar bola nyasar berkali-kali.
Namun, Anda mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa sebuah warung kopi dimasuki bola nyasar? Apakah dinding stadion itu kurang tinggi, atau warung itu sendiri yang salah letak, atau malah tidak ada dinding stadion sama sekali? Nah, agar Anda tak terus berspekulasi, mari ikut saya mengopi ke sana.
Kita berboncengan motor ke sana, dan lihatlah lapangan bola Bina Patra di sisi kiri. Rumputnya terawat dengan baik; terpangkas rapi dan selalu hijau di musim apa pun. Sebagai aset Migas, salah satu perusahaan minyak bumi milik negara, lapangan bola Bina Patra memang semestinya begitu, meski ketika Anda menjajal bermain di sana Anda akan mendapati problema khas lapangan bola level kampung: permukaan tanahnya tak rata.
Lapangan Bina Patra tak memiliki dinding pembatas selayaknya stadion sepak bola—itu menjawab salah satu pertanyaan Anda di atas. Sisi baratnya berbatasan dengan masjid Bina Patra dan deretan rumah penduduk, begitu pula dengan sisi selatannya. Di sebelah timur, selain berbatasan dengan rumah penduduk, terdapat lapangan basket yang juga dimiliki oleh Migas.
Nah, di sisi utara, Anda bisa melihat bangunan bercat biru cerah semi permanen di sudut timur lapangan. Itulah warung kopi Mak War. Lokasinya memang di luar lapangan, tetapi jarak antara lapangan dengan warung kopi itu hanya sekitar tujuh meter. Letaknya yang berada di area belakang gawang menjadikannya sasaran tembak pemain, dan itulah penyebab seringnya bola nyelonong ke dalam warung.
Lalu Anda bertanya, bukankah warung itu membelakangi lapangan? Ya, betul, tetapi Anda bisa melihat dua jendela kecil yang menghadap ke lapangan. Satu jendela dapur dan satu lagi jendela warung. Dari kedua jendela itulah, meski probabilitasnya kecil, bola-bola itu ikut mengopi.
Kita duduk di luar saja, dan sudah saya pesankan kopi untuk Anda. Kopi kothok, tentu saja. Begitu Anda turun dan duduk di bawah naungan pohon trembesi di samping warung, tahulah Anda bahwa warung kopi Mak War adalah lokasi sempurna untuk mengopi sekaligus relaksasi.
Alasannya jelas: lokasi warung kopi ini jauh dari keramaian. Jalan yang mengapit lapangan bola, seperti yang Anda lihat, bukanlah jalan utama sehingga jarang dilalui kendaraan. Lapangan bola yang selalu hijau ini juga memberi Anda ketenangan; secara instingtif mata manusia menyukai warna hijau yang teduh. Lagi pula, Anda sedang berada di bawah pohon trembesi, yang akan menaungi Anda dari galaknya sinar matahari di jam berapapun.
Ah, kopi kita sudah datang. Anda tentu melihat wanita tua berjilbab yang mengantar kopi ini tadi; itulah Mak War. Usianya 62 tahun, dan sudah membuka warung kopi sejak tahun 1972. Dalam dunia perkopian Cepu, Mak War bisa dibilang salah satu sesepuh kopi kothok. Tapi, sebelum Anda mendengar cerita tentang dirinya lebih banyak, ada baiknya Anda menghirup kopi Anda sejenak.
Anda mencium sesuatu yang tak lazim dari kopi kothok Anda? Kalau Anda tidak sedang pilek, Anda tentu bisa mencium aroma daun salam di kopi kothok ini. Dan itulah ciri khas kopi racikan Mak War; ia mencampur daun salam kering saat proses penyimpanan. Teknik ini, bila dilakukan dengan benar, hanya akan mempengaruhi aroma dan bukannya citarasa.
Sederhana, sih, tetapi perlu Anda ketahui bahwa ada banyak pemilik warung kopi yang meniru teknik ini dan malah berujung petaka. Alih-alih berasa nikmat dan harum, rasa kopinya malah menjadi amat mirip dengan sayur lodeh. Dan berhubung orang-orang mengopi karena ingin menikmati citarasa kopi dan bukannya lodeh, tentu Anda bisa memahami nasib warung kopi semacam itu selanjutnya.
Ketika wedang kopi Anda telah tandas, bukan berarti acara ngopi lantas tamat. Lihatlah ampas kopi di cangkir saya ini dan rasakan teksturnya dengan jari. Tekstur ampas yang lembut dan kental seperti lumpur inilah yang paling cocok dipakai untuk membatik kretek.
Yang perlu Anda tahu, tak semua ampas kopi kothok bisa dipakai membatik kretek (biasa disebut menyethe). Butiran ampas yang kasar, yang umum didapati di warung kopi kothok abal-abal, hanya akan membikin kretek Anda patah. Sementara ampas sesempurna ini akan membuat Anda merasa amat bersalah ketika menyulut kretek batikannya nanti.
Sejak didirikan, warung Mak War telah berpindah lokasi sebanyak lima kali, dan jaraknya selalu berdekatan. Penyebabnya adalah pembangunan; Mak War selalu digusur tiap kali Migas membangun sesuatu. Berhubung ia berjualan di area milik Migas, ia tak punya pilihan.
Tentu saja warung pertamanya bukan bangunan semi permanen seperti sekarang. Anda tahu tenda pramuka? Nah, seperti itulah bentuk warung pertama Mak War, dan bentuk itu bertahan hingga ia berjualan di lokasi yang keempat.
Baru di lokasi kelima inilah ia berani membangun seperti yang Anda lihat. Dinding kayu bercat biru dan atap asbes seperti itu sudah merupakan lompatan kuantum bagi warung kopinya. Ia tak lagi harus menggulung terpal dan membongkar rangka bambu tiap mau tutup; bentuk seperti sekarang memungkinkannya memasang gembok di tiap pintu.
Namun, bukan berarti lokasi sekarang tak rawan gusur. Ibu tiga anak ini bercerita kepada saya, mengenai kegugupannya tiap kali melihat mobil satpam Migas. Mobil itu suatu waktu pernah mampir ke warungnya tidak untuk mengopi, dan seringnya memang begitu, melainkan untuk menegurnya berulang-ulang akibat mendirikan bangunan tanpa izin di area Migas.
“Mungkin setahun lagi, atau malah kurang dari itu, warung ini dirobohkan,” kata Mak War. “Setelah itu, aku tak tahu harus pindah ke mana lagi. Orang berumur enam puluh dua tahun tak sepantasnya terus tergusur.”
Saya menanggapinya dengan berkata bahwa penggusuran warungnya memiliki dampak positif dalam satu hal: tak akan ada lagi bola nyasar ke wajan atau kopi pelanggan. Ia tertawa dan mengingat satu momen ketika adonan gorengannya didarati bola. Dengan geram ia mencemplungkan bola itu ke wajan panas dan menggorengnya hingga krispi. Ia menyajikannya di atas piring dengan cabe rawit, lalu membawanya ke lapangan. Tak ada satu pun pemain yang berani menegurnya.
“Tapi, aku lebih rela warungku dihajar bola setiap hari ketimbang digusur lagi,” sambungnya dengan suara lelah. “Umurku enam puluh dua tahun. Tidak bolehkah aku berjualan dengan tenang di sisa umur?”
Saya ingin menjawab boleh, tetapi jawaban saya hanyalah hiburan yang tak ia butuhkan. Alih-alih, saya memasang tampang sedih seperti yang Anda tunjukkan kepada saya saat ini. Ketidakberdayaan untuk membantunya membuat saya merasa gagal, entah mengapa.
Tapi, itu masih lama. Masih ada hari-hari untuk kita mengopi di warung ini, dan sebaiknya kita nikmati saja sisa hari-hari itu. Sebab hanya di sinilah—mari kita sepakati saja—orang-orang bisa mengopi dengan khusyuk dalam keheningan.
Post Comment