When traveling with someone, take large does of patience and tolerance with your morning coffee. (Helen Hayes)

Matahari baru saja naik di atas kepala. Siang itu saya sedang melakukan sebuah perjalanan. Sendirian, tanpa teman. Saya menyukai melakukan perjalanan sendirian. Alasan yang pertama, travelling sendirian tidak selalu bersinonim dengan kesepian. Dalam perjalanan, akan selalu ada teman baru. Bertemu teman baru selalu menyenangkan bukan? Alasan kedua, tentu karena saya tak perlu repot-repot menyiapkan segepok toleransi seperti kata Helen Hayes di atas. Walau tak harus menyiapkan toleransi, tapi kopi dalam perjalanan adalah sebuah keharusan.

Karena itu pula, warung-warung kopi yang terletak di sepanjang jalan besar manapun tak pernah sepi pengunjung. Bisa jadi karena para musafir selalu membutuhkan kopi.

Kalau Anda kebetulan berpergian melalui jalur Solo-Semarang dan butuh kopi, tak ada salahnya mampir ke Kampoeng Kopi Banaran. Persis terletak di jalan besar yang menghubungkan Semarang dan Solo. Tepatnya di lebuh Jalan Raya Bawen – Solo KM 1,5. Jangan khawatir tersesat. Kampoeng Kopi ini terletak di pinggir jalan dengan papan penanda berukuran besar.

Dari Semarang, perjalanan saya menuju Solo masih lumayan jauh. Saya mengarahkan motor menuju Kampoeng Kopi Banaran. Menuruti nasihat Helen untuk minum segelas kopi ketika travelling. Gapura besar menyambut saya. Kafe ini berukuran cukup luas. Banyaknya pohon yang menaungi area kafe membuat tempat ini menjadi sejuk. Ditambah lagi, Bawen memang terletak di daerah tinggi, 460-480 mdpl.

Salah satu hal yang sedikit membuat saya pusing ketika berada di warung kopi adalah: memilih menu. Kampoeng Kopi Banaran menyediakan banyak sekali pilihan kopi. Semuanya tampak menggiurkan.

Salah satu andalan kafe ini adalah Banaran Cappucino (Rp. 18.500) yang merupakan campuran ekstrak kopi grade 1 dengan susu segar lalu diproses dengan uap bersuhu tinggi. Banaran Espressso (Rp. 16.000) sempat menggoda saya. Saya membayangkan mata yang membelalak terkena tendangan dari espresso. Cukup untuk membuat saya terjaga sepanjang perjalanan. Ada pula beberapa jenis latte yang bisa saya coba lain kali.

Tapi akhirnya saya memilih Banaran Black Cofee (Rp. 16.000), yang merupakan ekstrak kopi grade 1, pekat dengan sedikit busa kopi. Sebagai camilan, saya memesan pisang goreng madu (Rp. 8000), meminggirkan pilihan seperti Jadah Bandungan (Rp. 10.500) dan tempe mendoan (Rp.5.500).

Kopi, Pisang Goreng dan Es Cappucino Kampoeng Kopi Banaran
Kopi, Pisang Goreng dan Es Cappucino Kampoeng Kopi Banaran | © Nuran Wibisono

Tak sampai 10 menit, pesanan datang. Secangkir kopi datang dengan uap yang mengepul. Ada selabung tipis krema berwarna coklat. Ketika saya sibak, tampaklah cairan hitam pekat yang sudah ribuan tahun membuat banyak orang tergila-gila. Selagi menunggu temperatur kopi sedikit rendah, saya mencomot potongan pisang goreng yang dibalur dengan madu. Pisangnya cantik, digoreng dengan baik dan tepat. Golden brown, dengan sedikit jejak overcooked di pinggiran yang justru menarik rasa manis karamel alami dari pisang. Rasa manis itu lantas digandakan oleh madu yang bertekstur sedikit lengket. Bagi pecinta rasa manis, pisang goreng ini sungguh memabukkan.

Untuk sedikit menaklukan rasa manis yang sangat itu, saya menyesap pelan kopi yang ditaburi sedikit gula. Saya mungkin bukan aficionado kopi, tapi sekali sesap, saya tahu kalau kopi hitam ini enak. Kopi yang enak pasti berasal dari biji kopi yang baik dan pengolahan yang baik pula. Selain hitam dan pekat, ada perpaduan ideal antara rasa pahit kopi dan manis gula. Secangkir kopi Banaran Black ini mengingatkan saya akan peribahasa Turki yang termahsyur itu: Coffee should be black as Hell, strong as death, and sweet as love.

 

* * *
 

Kampoeng Kopi Banaran ini dulu dikenal dengan nama Banaran Coffee Shop. Warung kopi kecil ini berdiri pada tahun 2002. Kala itu kafe ini hanyalah sebuah kafe kecil yang dikelilingi perkebunan kopi. Karena letaknya yang di pinggir jalan besar, tak perlu waktu lama bagi kafe ini untuk tumbuh besar. Karena semakin berkembang, akhirnya pada 28 Agustus 2005 diputuskan untuk memperluas usaha sekaligus mengganti nama menjadi Kampoeng Kopi Banaran.

Kampoeng ini tak hanya sekedar kafe (yang jadi semakin besar) melainkan juga ada taman bermain, tur kebon kopi, camping ground, arena outbond, hingga coffee walk. Kampoeng ini lantas jadi semacam one stop rest area. Kafe tetap menjadi highlight dari tempat ini. Selain suasana kafe yang nyaman, kopinya juga unggulan.

Kopi diambil dari lahan kebun kopi di Banaran yang dimiliki oleh PTPN IX. Pada lahan seluas 368,25 hektar ini, setiap masa panen bisa menghasilkan 3.200 ton biji basah. Setelah selesai diproses, jumlah itu menyusut menjadi sekitar 704 ton biji kering. Dari jumlah sebanyak itu, sekitar 80% diekspor dalam bentuk biji. Pasarnya hingga mencapai Jepang dan Italia. Jadi kalau misalnya anda sedang berada di pelosok Napoli dan menyesap espresso nikmat, bisa jadi kopinya berasal dari Banaran.

Produk Kopi Banaran
Produk Kopi Banaran | © Nuran Wibisono
Kemasan Kopi Luwak Banaran
Kemasan Kopi Luwak Banaran | © Nuran Wibisono
Kopi Luwak Banaran
Kopi Luwak Banaran | © Nuran Wibisono

“Keunggulan kopi kami, karena ada rasa Mocca di after taste-nya. Itu berdasar hasil uji rasa dari peneliti di Puslit Kopi dan Kakao” ujar Banu, manajer Agrowisata. “Jadi tanpa ditambahi apa-apa, kopinya sudah ada rasa Mocca-nya” tambah Musriyanto, manajer kafe.

Selain diekspor ke mancanegara dan untuk memenuhi kebutuhan kafe, kopi di Banaran juga dikemas untuk buah tangan. Kopi bubuk grade 1 kemasan 250 gram dijual seharga Rp. 11.000. Sedang yang kemasan 100 gram dibanderol Rp. 5.200. Yang spesial adalah kopi luwak kemasan ekslusif 80 gram. Ditaruh di dalam wadah tabung berwarna cokelat muda dengan pola kayu, membuat kopi mahal ini jadi semakin ekslusif. Wajar kalau harganya juga ekslusif dan membuat saya mendegut ludah: Rp. 480.000. Untuk kopi luwak kemasan biasa, dijual dua versi: kemasan 10 gram (Rp. 60.000) dan kemasan 100 gram (Rp. 380.000). Luwak-luwak tangkaran di Banaran sekarang berjumlah 24 ekor. Ketika dalam masa panen, rata-rata satu ekor luak menghasilkan sekitar 0,4 kg/ hari. Bukan hasil yang banyak.

Setelah sukses, Kampoeng Kopi Banaran ini melebarkan sayap dengan mendirikan cabang. Ada beberapa cabang kafe Banaran ini. Mulai di Solo, Semarang, hingga Surabaya. Untuk kopi, pasokan tetap berasal dari Banaran. Kelezatan kopi Banaran ini sudah mengundang banyak tamu. Dari para pejalan yang sering melintas Solo-Semarang, hingga yang paling spesial: Susilo Bambang Yudhoyono.

Banu dan Musriyanto punya kisah unik tentang presiden Indonesia itu. Suatu hari, mereka diberitahu oleh atasannya kalau SBY akan datang berkunjung. Mereka lantas menyiapkan segala sesuatunya agar penyambutan SBY berjalan meriah. Lama ditunggu, presiden tak muncul juga.

“Ternyata cuma lewat aja, beliau langsung bablas Solo,” kata Musriyanto sembari tertawa kecil.

Kali kedua, ada kabar yang sama: SBY akan datang berkunjung. Menganggap akan terjadi hal yang sama dengan ‘kunjungan’ yang pertama, Musriyanto dan Banu tak melakukan persiapan khusus. Nyaris tak ada persiapan malahan. Ndilalah, SBY benar-benar datang berkunjung.

“Kami senang Pak SBY akhirnya datang. Kami foto dan minta tanda tangan beliau. Itu kebanggaan,” ujar Banu dengan senyum.

Saya dijamu oleh Banu dan Musriyanto dengan segelas Es Cappucino. Foam-nya tebal, which is good. Hiasannya indah. Rasanya tak manis berlebihan. Masih ada kekuatan kopi yang pekat, muncul berdampingan dengan rasa manis susu. Juga ada sepiring jajanan desa seperti ketela dan tempe mendoan.

Saya malah sempat ditawari untuk naik kereta wisata dan ikut tur berkeliling kebun kopi. Sebenarnya, ini bukan kereta dalam arti harfiah. Melainkan Jeep yang dimodifikasi hingga muat untuk 5 orang dewasa. Perjalanan menggunakan kereta ini hanya dikenai tarif sebesar Rp. 50.000/ kereta. Cukup murah bukan?

“Mau nyoba naik, mas? Enak lho. Keliling kebun kopi, romantis,” ajak Banu dan Musriyanto.

Tapi saya menolak dengan halus ajakan menggiurkan itu. Pertama, karena hari sudah sore dan saya harus bergegas pergi ke Solo. Kedua: apa enaknya naik kereta sendirian padahal pemandangannya romantis? Bah!