Mabuk Kepayang Bersama Sepiring Rawon Nguling
Oh… rindu
Rindu ‘ku memikirkan kamu
Hanyalah dirimu
Yang membuatku mabuk kepayang
Aku mabuk kepayang sama kamu… wahai kluwek. Kluwek, alias keluwak, alias picung, alias pucung, alias… kepayang. Jelas memabukkan jika dimakan mentah, karena mengandung sianida yang cukup kuat untuk membunuh ternak.
Tak banyak yang menyadari, bahwa kluwek siap masak yang dijual di pasaran bukanlah biji kluwek mentah. Daging biji kluwek mentah aslinya berwarna putih. Bila dicacah dan dicampur garam lalu dibalurkan pada ikan, bisa mengawetkan ikan selama 1 minggu. Tapi harus diangin-anginkan sebentar setiap hari supaya sianidanya menguap. Jauhkan dari jangkauan manusia dan ternak.
Untuk bahan masakan, dari biji mentah yang jatuh dari pohonnya, biarkan basah kehujanan selama 1-2 minggu sampai membusuk. Ini supaya sabutnya lebih mudah dikupas. Biji yang bersih dan keras seperti batok kelapa, harus dicuci dan direbus dahulu selama 1 jam, lalu keringkan. Sekarang, sianidanya sudah terbuang.
Peramlah dalam abu sekam selama 15 hari. Atau dalam tanah dibungkus daun pisang selama 40 hari. Bersihkan. Nah, barulah daging bijinya berwarna coklat kehitaman, siap dimasak. Pilih kluwek yang batoknya tidak berjamur. Kocok-kocok. Kalau terasa berat dan bunyinya koplok, biasanya daging buahnya bagus. Tapi lebih baik dibuka dulu satu. Kalau dagingnya berwarna kelabu, berarti sudah kadaluarsa. Cicipi dulu. Kalau pahit, jangan digunakan.
Kluwek mengandung vitamin A, vitamin B1, vitamin C, zat besi, protein, kalsium, juga fosfor. Masakan terpopuler yang menggunakan kluwek? Apalagi kalau bukan rawon. Sup daging sapi berwarna hitam yang entah bagaimana kedainya bisa berjajar di kota-kota Jawa Timur yang panas.
Sepanjang perjalanan dari Surabaya menuju Bromo, panitia Jazz Gunung yang menjemput kami membiarkan kami meneteskan liur memandang deretan kedai rawon di Pasuruan, tapi tidak juga berbelok parkir. Semua personel sudah gelisah dan saling meledek tampang-tampang kelaparan di dalam mobil.
Dua jam dari Surabaya, di Probolinggo, barulah mobil berbelok. Plang besar yang dibalut kain merah putih: Rawon Nguling. Kami melompat turun, langsung mencari meja panjang. Kedai yang sangat gerah untuk makan sop panas. Untung pelayan segera tanggap. Kami dipindahkan ke ruang ber-AC. Ya, meskipun AC-nya sudah seperti nafas asma, lumayanlah.
Saya memesan rawon. Sebagian personel memesan gule kambing. Saya sontak menegur, karena usia mereka sudah lebih dari 40 tahun, gemuk dan jarang berolahraga. Ah, tapi kau tahu kan, seniman itu keras kepala luar biasa. Tapi kalau tidak keras kepala, mana mungkin juga bisa bertahan seumur hidup mencintai pekerjaan sebagai musisi bukan seleb. Kalau sedang ramai pesanan, bisa lumayan beberapa kali lipat UMR. Tapi kalau bulan puasa, misalnya, siap-siap makan tabungan. Mana tidak ada tunjangan dan asuransi, pula.
Rawon Nguling terkenal dengan kuah yang lebih hitam pekat. Supaya dagingnya empuk, bisa dipukul-pukul palu daging dahulu sebelum direbus, atau dibalur parutan nanas muda selama setengah jam, atau dengan cara modern: dimasak dalam slow cooker. Kluwek, kemiri, dan ketumbar ala Rawon Nguling disangrai terlebih dahulu sebelum dihaluskan dan ditumis. Memarkan kunyit, lengkuas, dan jahe. Bakar sebentar kunyit dan jahe.
Haluskan semua bersama bawang merah, bawang putih, dan cabai. Tumis bumbu halus dalam minyak. Masukkan dalam panci berisi air kaldu dan daging. Tambahkan daun bawang dan daun jeruk purut, juga garam, gula, dan merica. Dihidangkan bersama nasi, tauge pendek mentah, dan sambal terasi.
Perbedaan kecil lain, Rawon Nguling tidak memakai bumbu serai, kulit jeruk purut, asam jawa, dan terasi dalam kuahnya seperti Rawon Setan. Terasi dipisahkan dalam sambal. Kuah kaldunya pun hanya daging dan urat, tidak ditambahkan tulang sapi. Dagingnya sangat empuk dan gurih. Hanya sayang, sudah dihidangkan per piring agar praktis. Padahal saya suka yang lebih banyak kuah dan lebih sedikit nasi.
Untuk teman lauknya, ada tempe tebal, perkedel kentang, lidah dan paru goreng. Saya tidak berani makan jeroan, apalagi sebelum bekerja. Saya hanya mencoba tempe goreng separuh, separuhnya lagi diambil teman sinden. Untuk lidah Jawa Barat, tempe ini terlalu tebal, sehingga teksturnya agak lembek dan tidak terasa bumbu apa-apa. Asin pun tidak. Aroma kedelainya juga tidak sesedap tempe di Bandung.
Tapi tentu saja tidak ada yang lebih menyenangkan daripada makan di meja panjang beramai-ramai, dengan empat belas teman-teman yang lucu dan ceria. Apalagi ketika perut sudah keroncongan, sedangkan lagu yang harus kami mainkan nanti adalah lagu Sunda, Arab, dan slendro berbalut jazz.
Satu jam kemudian, selesai sudah mabuk kepayang bersama rawon dan teman-teman di Rawon Nguling Probolinggo. Segera menuju panggung Jazz Gunung di Bromo untuk check sound. Pesta Merdeka di Puncak Jazz Raya. Mari bersulang wedang!
Post Comment