Loading Now

Kopi dan Tembakau dari Kaki Gunung Sumbing: Catatan Pendek

Kebun tembakau dengan latar belakang Gunung Sumbing © Alfian Al’ayubby Pelu

Bertemu dengan Mukidi adalah rejeki nomplok sekaligus memberi saya banyak pelajaran. Ia adalah petani kopi yang tinggal di dusun Jambon, desa Gandurejo Bulu di kaki Gunung Sumbing. Kami berjumpa di rumah teman Mukidi dan teman saya juga: Khamid Istakhori.

Jam 8.30 pagi, sebulan yang lalu. Dari rumah Khamid di pusat kota Temanggung, Mukidi membonceng saya menuju rumahnya. Perjalanan memakan waktu 20 menit. Motor dipacu pelan, menyusuri jalan kota Temanggung yang rapi dan bagus.

Saya mengagumi kota Temanggung dari atas motor yang terus melaju. Jalan-jalannya mulus, trotoarnya bersih, kotanya rapi. Pantas ia diganjar penghargaan Adipura sebanyak tiga kali—hal yang baru saya ketahui belakangan setelah pergi dari Temanggung.

Berkendara terus ke utara, lalu mendaki jalan yang panjang menanjak, kebun-kebun tembakau menghampar di kanan kiri jalan setelah motor berada cukup tinggi di atas kota Temanggung. Langit agak cerah. Dari jauh, Gunung Sumbing dan Sindoro yang berdampingan layaknya Gunung Gede dan Pangrango, terlihat cukup jelas. Tampak kotak-kotak kecil rumah penduduk tersebar di kedua kaki gunung tersebut.

Kopi Rasa Tembakau?

Ketika sepeda motor terus mendaki ketinggian, saya melihat bangunan sebuah perusahaan rokok ternama. “Itu gudang rokok”, kata Mukidi mendahului pertanyaan saya.

Beberapa perusahaan rokok besar memang membangun gudang di Temanggung. Mereka membeli tembakau dari petani, ditampung di gudang, untuk kemudian dibawa lagi dan diolah menjadi rokok. Warga mengenal gudang dengan sebutan ‘pkoper’. Itu untuk industri rokok besar. Untuk industri rokok kecil, pengusaha bisa langsung membeli tembakau siap produksi dari pedagang di Temanggung.

Temanggung merupakan kabupaten penghasil tembakau. Di belakang julukan Kudus sebagai kota rokok, ada Temanggung yang menopangnya. Pada tahun 2010, 70% pendapatan daerah Temanggung disumbang oleh industri tembakau.

Ternyata Temanggung tak hanya tentang tembakau. Kota ini juga menghasilkan kopi. Menurut Pemkab Temanggung, kota ini memasok hampir 40 persen kopi untuk wilayah Jawa Tengah.

Seperti tembakau, biji kopi tersebut dijual kepada merk-merk kopi besar. Ada pula yang diekspor ke mancanegara. Soal kopi ekspor ini, saya dapat cerita dari Mukidi bahwa biji kopi Temanggung cukup punya penggemar di mancanegara. Rute ekspor tidak langsung ke mancanegara melainkan menclok dulu ke Malang. Sampai di Malang, biji kopi itu mengalami sedikit riasan (proses pasca panen berikutnya) baru kemudian diekspor. Nah, pada tahap ekspor inilah biji kopi tersebut tidak lagi dikenal sebagai kopi Temanggung melainkan kopi Malang.

Kopi Temanggung (atau Malang?) punya segmen penggemar tersendiri di mancanegara. Rasanya juga khas. Konon karena ada pengaruh tembakau di kopi itu. Jarak tanam serta jarak lahan yang dekat antara tembakau dan kopi, merupakan ciri khas tersendiri di Temanggung, membuat kopi—yang sangat sensitif menyerap aroma apa saja di sekitarnya—beraroma tembakau. Tetapi saya belum begitu yakin soal itu.

Petani Mandiri Tidak Percaya Mitos

Jalan mulus berganti tanah liat. Motor terus merangkak di ketinggian. Memasuki perkampungan menuju rumah Mukidi, saya menjumpai lahan garapan warga yang ditanami kopi, tebu, jagung, dan yang paling banyak adalah tembakau. Posisi rumah Mukidi terletak di kaki gunung Sumbing Selatan. Dari rumahnya, kadang saya bisa sekaligus melihat gunung Sumbing dan Sindoro yang sebentar dipeluk kabut sebentar tidak..

Saat kami tiba, istri Mukidi dan seorang saudaranya sedang melakukan penyortiran biji kopi hasil panen di dalam rumah. Biji-biji kopi mentah yang baru dipanen, dipilih berdasarkan kualitasnya. Jari-jemari mereka lincah memilah biji kopi. Kalau di kampung saya di Ambon, jari jemari kami lincah memutus biji cengkeh dari ganggangnya.

Perpustakaan, ruang berbincangtamu, sortir roasting
Perpustakaan, ruang berbincangtamu, sortir roasting © Alfian Al’ayubby Pelu

Di rumah Mukidi, ada sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu multifungsi. Jadi perpustakaan, ruang tempat menerima tamu, tempat sortir kopi yang sudah disangrai, pajangan berbagai jenis biji kopi, hingga bisa juga menjelma jadi tempat menjual kopi buatannya.

Di salah satu sudut ruangan yang berfungsi banyak itu, tergantung satu plakat penghargaan bertarikh 2013 dari stasiun televisi swasta. Ia masuk dalam nominasi untuk penghargaan kategori lingkungan.

Mukidi merupakan salah seorang petani di Temanggung yang punya gagasan di kepala, lalu mewujudkan apa yang ia sebut sebagai ‘petani mandiri’.

Ia bercerita ihwal konsep petani mandiri (dan usaha pertanian kopi yang dijalaninya). Konsep petani mandiri menurutnya harus bertopang pada kaidah konservasi. Konservasi tanah, secara ringkas dan cepat, adalah penyelamatan tanah melalui serangkaian metode agar tanah terhindar dari erosi, pencemaran, dan kerusakan yang berakibat menurunnya produktivitas tanah. Singkatnya, tanah dan air mesti dipergunakan sesuai cara penanaman yang benar agar kesuburan tanah dan hasil pertanian meningkat.

Ia tak percaya mitos,—tentu saja dalam batas-batas ilmu pertanian—bahwa satu jenis tanaman tertentu tidak bisa ditanam di daerah yang secara kultur bukan tempat tumbuhnya.

Ketika pertama kali menanam kopi, beberapa teman menyangsikan ikhtiarnya. Mereka pesimis apa yang ditanam Mukidi akan punya masa depan panen yang cerah. Bagi mereka, tanah di daerah tempat Mukidi tinggal hanya cocok untuk ditanami tembakau. Selain karena karakteristik tanah, jejaring pasar dan distribusi tembakau telah lebih dulu mapan. Tembakau lebih punya masa depan cerah daripada kopi. Mukidi memilih menanam kopi, bukan tembakau, karena minatnya ada pada kopi. Pesimisme sedulur-sedulurnya ia tampik.

“Dengan tekun mengelola tanah sesuai kaidah konservasi, maka apapun bisa kita tanam dan panen,” ujarnya. Berangkat dari sini, Mukidi menganjurkan (bahkan telah menjalankan) strategi menanam yang ‘lincah’ (saya tak menemukan istilah yang tepat) di lahannya. Ada tanaman bulanan, musiman, dan tahunan. Konsep menanam yang dibagi per-waktu ini —yang lagi-lagi harus bertumpu pada kaidah konservasi—akan menopang kehidupan ekonomi petani.

Anggapan umum yang berkembang adalah petani itu miskin (anggapan ini berlaku untuk petani penggarap atau petani yang punya lahan sempit, bukan untuk petani yang punya lahan berhektar-hektar). Tak ada uang tabungan, susah beli itu-ini, apalagi hendak pergi piknik. Biaya untuk pupuk dan persiapan tanam berikutnya saja sudah menyita uang penjualan hasil panen.

Untuk mencukupi kebutuhannya mau tak mau petani harus menjalani beberapa macam pekerjaan. Musti kerja serabutan, tak bisa berharap pada hasil bumi. Anggapan ini pula yang membuat petani tak diminati anak muda.

Bagi Mukidi, hal itu yang perlu diperbaiki. Bila petani ingin meningkatkan kemampuan ekonominya, menjadikan bercocok sebagai mata pencaharian yang utama (tanpa harus serabutan), mereka perlu bertani secara polikultur, yaitu menanam bermacam tanaman di lahannya sesuai waktu panen. Dari macam waktu panen ini petani bisa meraup penghasilan bulanan, musiman, juga tahunan.

“Jangan hanya menanam tanaman yang masa panennya lama!” kata Mukidi.

Dengan sistem itu, petani punya sumber penghasilan bulanan, musiman, dan tahunan yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi. Tidak perlu menunggu semusim atau setahun, atau kerja serabutan untuk mendapatkan penghasilan. Dengan begitu, ada sumber penghasilan yang berkesinambungan.

Guna yang lain, adalah mempersiapkan mekanisme bailout (dana talangan). Anggap saja komoditas utama yang ditanam adalah kopi. Sejak pertama kali ditanam, kopi butuh waktu 2,5 sampai 3 tahun untuk panen pertama. Setelah panen pertama, untuk tiba pada masa panen berikutnya memerlukan waktu 9 bulan sampai 11 bulan untuk jenis Robusta dan 9 bulan untuk Arabika.

Karena waktu panen kopi yang cukup panjang itulah, sang petani musti menyiapkan dana yang cukup untuk merawat kopi sampai kelak panen. Ini perkara yang riskan! Kerap petani tidak punya cukup dana.

Dengan menanam tanaman yang bisa dipanen, tiga-bulanan, musiman, dan seterusnya, tentu ada dana bagi tanaman berumur panjang yang memerlukan perawatan ekstra sebelum dipanen. Tanaman yang dipanen bulanan, menalangi tanaman yang dipanen per tiga bulan. Yang pertiga bulan menalangi tanaman yang dipanen musiman, dan seterusnya. Singkatnya, sayur dengan masa tanam singkat seperti sawi bisa untuk menalangi kopi.

Hal penting lain yang bisa dicatat, dengan memanfaatkan setiap jengkal lahan untuk rupa-macam tanaman akan membuat petani rajin mengelola lahannya secara telaten. “Rajin memerlukan pengetahuan dan kreativitas. Belajar terus, perbarui ilmu agar menjadi petani yang makmur dan pintar,” kata Mukidi.

Dari Hulu Hingga Hilir

Tapi mandiri tidak melulu soal menanam secara konservasi. Jika berhasil menanam dengan kaidah konservasi, tapi petani masih tetap bergantung pada tengkulak, ya itu sama saja. “Petani harus menguasai apa yang ditanamnya,” kata Mukidi tegas. “Proses bertani itu mengalir dari hulu sampai hilir.”

Ia sedikit menyinggung kecenderungan para petani yang langsung menjual hasil panen —untuk dapat uang segar dan cepat— daripada mengolahnya menjadi produk jadi atau setengah jadi. Baik petani tembakau dan kopi, kebanyakan langsung menjual hasil panen mereka. Padahal mereka bisa membuat rokok buatan sendiri atau kopi buatan sendiri. Bisa juga buatan kelompok tani, tanpa bergantung kepada tengkulak yang membeli hasil panen dengan harga murah.

Kuncinya adalah tidak menggantungkan diri pada pasar yang merugikan petani. Petani musti bergantung pada diri sendiri, kemudian dengan mantap dan kuat pergi bertarung di pasar. Begitulah seharusnya menjadi petani mandiri. Mulai dari menanam sampai menjual, petani berkuasa penuh atas tanamannya.

Merk kopi yang diproduksi Mukidi
Merk kopi yang diproduksi Mukidi © Alfian Al’ayubby Pelu

Lalu mulailah ia hitung-hitungan soal berapa besar keuntungan antara biji kopi mentah yang dijual kepada tengkulak (dan sejenisnya), atau menjual biji kopi yang sudah diolah. Cara yang kedua lebih untung bertingkat.

Biji kopi yang baru dipanen, jika langsung dijual akan dihargai per satuan berat (1 kilogram dan seterusnya) tanpa membedakan kualitas. Padahal biji kopi mentah yang dipanen dari satu pohon, atau satu kebun bisa berbeda kualitasnya. Ada biji kopi yang lanang (biji kopi yang utuh), biji kopi yang terbelah jadi dua tetapi mulus, biji kopi terbelah yang sedikit bolong, dan biji kopi terbelah yang berwarna hitam gosong. Seperti itulah wujud biji kopi hasil sortiran yang saya lihat di rumah Mukidi. Dari kualitas yang berbeda tersebut, masing-masing biji kopi bisa dibuat produknya.

Ada beberapa produk kopi yang dihasilkan Mukidi. Mengikuti stategi pemasaran, produk-produk kopi itu kemudian ditawarkan ke pasar yang berbeda. Misal, untuk biji kopi yang lanang, Mukidi memproduksinya dalam kemasan biji. Ia tidak memproduksinya dalam kemasan bubuk. Menurut Mukidi, biji kopi lanang jarang langsung dibuat jadi kemasan bubuk untuk dijual. Melainkan dibeli oleh para barista untuk kemudian diracik sesuai selera pengunjung kafe. Atau dibeli eceran oleh penikmat kopi non sachet.

Tentu merk-merk kopi besar dengan jaringan dan skala produksi yang besar sudah lebih dulu menguasai lidah para penikmatnya. Tapi bagi Mukidi, ini merupakan tantangan. Lewat percakapan singkat, forum diskusi, atau internet—pelajaran berikutnya, bahwa petani harus berkembang sesuai zaman untuk mendayagunakan pilihan hidup sebagai petani— Mukidi tak pernah lupa mengenalkan kopi produksinya dan mengundang setiap kawan bicaranya bertandang ke rumahnya, yang sekaligus dijadikan kedai kopi di kaki gunung Sumbing yang kerap berkabut itu.

Jalan Mukidi memang panjang. Tapi bagi para petarung sepertinya, jalan seperti apapun akan dihadapinya dengan gagah berani.

Post Comment