Aroma dari Percakapan
“Saya terakhir ke sini kira-kira tiga puluh tahun lalu. Dulu mudah melihat alat-alatnya secara langsung. Sekarang beli saja antre,” keluh seorang pria paruh baya pada saya saat sama-sama mengantre untuk membeli kopi di Koffie Fabriek Aroma, Bandung.
Pria itu tak menyangka harus mengantre panas-panasan dari luar kedai. Sebagian pengantre adalah orang tua. Walau antrean mengular, saya bisa bertemu dan bercakap dengan pelanggan kopi Aroma yang lain.
Koffie Fabriek Aroma merupakan kedai kopi tertua di Bandung. Pabrik yang dirintis oleh Tan Houw Sian pada 1930, kini diurus oleh anaknya Widya. “Saya kenal Pak Widya, ia teman saya saat SMA dulu”, ujar pria paruh baya lain yang berdiri di belakang saya.
Tak ada yang mewah di sini. Bangunan kedai masih bernuansa zaman kolonial. Kalau mata tak jeli, akan sulit menemukan kedai kopi ini. Pasalnya, persis di depan kedai ada banyak pedagang –seperti tukang kunci dan warung kelontong– yang memenuhi trotoar. Saya pun sempat bablas beberapa meter ketika mengunjunginya. Cat huruf papan nama juga sudah dilumat waktu, pudar dan retak-retak di sisi-sisi hurufnya.
Aroma hanya fokus pada penyangraian kopi. Ada biji kopi arabika dan robusta yang dipasok langsung dari petani Indonesia. Alat sangrainya juga berumur lebih tua ketimbang usia Republik ini.
“Pak Widya dulu bilang kalau bapaknya sudah mulai menyangrai sejak tahun 1930-an. Dan pakai api bukan listrik, tapi ndak tahu kalau sekarang,” lanjut pria di belakang saya.
Ketertarikan saya pada kedai kopi ini berawal dari menonton liputan tentangnya di Lativi (sekarang TvOne). Di liputan itu, sang pemilik mengajak jurnalis ke dalam ruangan tempat pemrosesan kopi. Terdapat dua alat penyangraian besar dan tumpukan karung goni. Di dalam ruangan, terpampang biji kopi kering yang beragam di dalam laci dengan permukaan kaca. Di sampingnya, berdiri penggiling kopi berukuran cukup besar yang dipenuhi sarang laba-laba.
Ternyata alat penyangrai raksasa itu berasal dari Jerman. Masih digunakan hingga sekarang. Sedangkan karung goni berisi kopi yang ditimbun di gudang khusus selama 5 hingga 8 tahun.
Penyimpanan biji kopi ini cukup membuat saya heran. Karena selama ini saya kira hanya wine yang disimpan dalam jangka waktu lama. Menurut percakapan para pengunjung, kopi disimpan lama agar kadar keasaman berkurang.
Antrean kami akhirnya memasuki ruangan. Dulu saya kira hanya minum kopi saja yang bisa mengakrabkan orang tak saling kenal. Tapi ternyata antre beli biji kopi pun bisa juga melakukan hal yang sama. Selagi menunggu giliran membeli biji kopi, obrolan kami, para pengantre Aroma, semakin hangat.
Ada yang unik dari Paberik Kopi Aroma, yaitu tak ada meja dan kursi untuk minum di tempat. Menurut Toni Wahid, pakar kopi Indonesia, kedai ini hanya fokus pada penyangraian saja kendati banyak investor yang menginginkan dijadikan kedai kopi kebanyakan. Kata Widya, kesibukannya sudah cukup menyita waktu.
Sebelum giliran memesan, saya bertanya pada pria di depan.
“Bapak, pesan apa?”
“Robusta,” jawabnya tersenyum. “Saya ngopi bisa lima kali dalam sehari. Pagi dua kali, sore sampai malam tiga kali dan dicampur gula aren.”
Antrean sudah mencapai gilirannya. Ia pesan sekilo robusta dan sekilo arabika.
“Arabika ini pesanan, saya peminum robusta,” katanya tanpa saya tanya
“Bapak diabetes?” sahut pengantre lain.
“Iya, saya diabetes. Sejauh ini saya mengonsumsi lima kali kopi sehari, kadar gula saya menurun. Harus robusta.”
Karena sudah terbiasa, sang pramusaji pun cukup sekali ciduk kopi. Takarannya nyaris pasti pas. Ada empat pegawai yang sedang bekerja. Dua orang pria dan dua orang wanita. Seorang wanita bertugas mengukur berat kopi di depan timbangan, wanita lainnya melipat bungkus kopi. Sedang satu lelaki bertugas memindahkan biji kopi dari tempat penyimpanan ke tempat jualan. Lelaki satunya bertugas melayani pengunjung.
Akhirnya giliran saya pun tiba juga. Saya pesan Arabika Toraja dan Flores. Masing-masing 250 gram. Saya melihat langsung biji kopi saya dibungkus. Giliran saya selesai.
Antre panjang selalu bisa melahirkan cerita baru. Tentu tak selamanya demikian. Hanya beberapa hal yang bisa melahirkan percakapan nan hangat. Kopi salah satunya. Hari itu, saya meyakini bahwa kopi bisa melahirkan percakapan-percakapan yang tak terduga.
Secangkir kopi mungkin bisa habis. Tapi obrolan yang hadir tak akan pernah habis.
Di luar gedung, saya bertemu dengan pria yang tadi antre di depan saya. Ia berdiri bersama istrinya. Dengan melempar senyum, ia memanggil saya.
“Mas, tolong fotokan kami dong. Yang kelihatan tulisan Paberik Kopi ya.
Saya tersenyum.
Post Comment