Kekayaan Cita Rasa Kopi Rempah Alor
SSuatu sore seusai hujan, aku keluar dari kamar penginapan. Hari baru pukul 15.00, namun terasa seperti pukul 17.30 saja karena langit murung di atas Pulau Alor. Teman-teman sudah mendahului ke Kupang pagi tadi. Karena salah pesan tiket, aku harus menginap sehari lagi di Kalabahi. Sore itu, aku merasa sedikit kesepian. Kuputuskan untuk pergi berjalan-jalan dari Pelabuhan menuju Pasar Kadelang.
Aku mengambil jalan kecil menyusuri pinggir pantai. Di teluk, laut seperti permukaan danau. Tenang sekali. Tak ada suara kecipak gelombang mencium daratan. Tidak ada tiupan angin, membuatku lupa akan badai kecil yang baru saja berlangsung selama nyaris 3 jam.
Jalan kecil itu hanya selebar satu mobil. Tercium aroma yang basah dari tetumbuhan di kanan dan kiri sepanjang jalan. Sejak tiba di sana, buyarlah sudah penggambaran Alor sebagai pulau padang sabana, seperti yang sering digambarkan media massa. Di musim hujan, Alor menghijau dengan suburnya.
Sepanjang jalan, sepi suasana. Semua pintu dan jendela dari rumah-rumah yang kulewati tertutup. Mungkin para penghuninya sedang bekerja atau masih menikmati siesta, tidur siang.
Aku sangat lapar, namun tak satu pun warung buka padahal aku sudah berjalan kaki 15 menit jauhnya. “Seharusnya tidak ambil jalan ini,” sesalku dalam hati.
Waktu mendekati sebuah kelokan, aku melihat seorang ibu sedang menyapu halamannya. Dia melihatku, maka aku tersenyum dan mengangkat tangan. Kulihat ada sebuah bangunan bambu di depan rumahnya dengan jendela besar dan tirai dari untaian kerang. Hati melompat girang waktu mata menemukan tulisan “Ada Jual Ikan Bakar” di sebuah papan yang nyaris tertutup dedaunan pohon kersen.
“Selamat sore, Ibu. Warung buka?”
“Selamat sore, Muda. Warung buka jam 5!” jawabnya dengan senyum lebar. Muda adalah sebutan lokal untuk pemuda.
“Ah sayang sekali. Kalau kopi hitam saja, ada?” tawarku, penuh harap.
“Oh, sebentar. Mari masuk duduk di dalam, saya bikin kopi. Mungkin masih ada pisang. Muda mau?”
“Mau, Ibu, terima kasih!” jawabku, lega.
Sekitar 10 menit kemudian, ibu itu datang membawakan satu ceret plastik berisi cairan hitam dan satu gelas yang kecil—barangkali dua kali lebih kecil daripada cangkir kopi pada umumnya. “Silahkan Muda minum. Ini kopi khas Alor. Nanti saya balik lagi.”
Ada yang melayang-layang di dalam ceret. Ini pastilah bukan kopi hitam biasa. Dari mulut kecil ceret, uap mengangkasa, meruapkan aroma yang sangat wangi. Jahe dan cengkeh. Meski terbiasa minum hanya kopi hitam tanpa campuran rempah, aku mensyukuri sajian ini. Ternyata kopi sudah dimaniskan. Aku menghirupnya perlahan-lahan dan menduga-duga isinya: jahe, cengkeh, kayu manis. Nikmat juga!
Sekitar 10 menit kemudian, sang pemilik warung kembali dengan satu piring pisang goreng yang membuat mata langsung berbinar. Asap masih dapat terlihat jelas keluar dari empat penganan berwarna kuning keemasan. “Wah, jodohnya kopi!” komentarku, “Ini jenis pisang goreng kesukaan saya, Bu: tanpa adonan tepung.”
Mendengarnya, si ibu tertawa dan menarik satu kursi. Dia lalu bertanya, “Muda ada datang dari mana?”
Pertanyaannya adalah awal dari perbincangan yang menyenangkan dan panjang. Cukup panjang sampai si ibu membuatkan kopi satu ceret lagi. Dan tak hanya itu, dia dengan berbaik hati memberikan resep kopi khas Alor kepadaku. Meski tidak spesifik takarannya, aku sudah sangat senang menerima resepnya. Kata dia, “Yang penting ada di halia dan kapulaga.”
Resep Kopi Rempah Alor
Pada dasarnya, kopi ini mirip kopi herbal di beberapa daerah lain di Indonesia. Anda dapat memodifikasinya dengan tambahan serai dan pala.
Bahan-bahan:
- Bubuk kopi
- Air
- Kayu manis
- Halia alias jahe, iris lebar
- Kapulaga, memarkan
- Cengkeh
- Gula
Cara membuat:
- Rebus air, rempah, dan gula sampai air mendidih dan biarkan beberapa saat agar aroma rempah keluar.
- Masukkan bubuk kopi dalam ceret lalu tuangkan rebusan. Sekitar empat menit kemudian, sajikan.
- Opsi lain: rebus semua bahan bersamaan.
Post Comment