Tahun lalu Art Jog sukses menyihir pecinta karya seni di Indonesia lewat tema klasik: Fluxus. Gerakkan seni era 1960-an yang diinisiatori George Malicianus lalu populer di tangan Yoko Ono ini diterima dengan baik pecinta seni di Art Jog 2015 lalu. Karya seni, baik dimensi, video, site specific object, maupun performance mampu menghilangkan batas antara si pembuat dengan penikmat. Sesuai tema, karya seni yang dipamerkan milik bersama.

Sama halnya dengan tahun lalu, Mandiri Art Jog ke-9 juga mampu menghilangkan batas antara seniman dengan penikmat seni. Mengambil tema Universal Influence, sebanyak 97 karya mampu membuat penikmat tak sekadar melihatnya sebagai cangkang seni saja. Karya seni dalam Mandiri Art Jog yang kali ini diselenggarakan di Jogja National Museum (JNM) hingga 27 Juni 2016 itu berdialog dengan penikmat soal zaman. Setiap karya bicara soal masa lampau, hari ini, bahkan masa depan.

“Tema Universal Influence berangkat dari pemahaman bahwa kebudayaan global itu lahir dari akumulasi peristiwa menyejarah yang berpengaruh pada tatanan politik , ekonomi, sosial, budaya yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari,” jelas Hamadza Adzani, Manajer Komunikasi dan Publikasi Mandiri Art Jog 9.

Undisclosed Identity // FX Harsono
Undisclosed Identity // FX Harsono © Dezta Wasesa
Undisclosed Identity // FX Harsono
Undisclosed Identity // FX Harsono © Dezta Wasesa

Tengok instalasi FX Harsono berjudul “Undisclosed Identity”. Seniman pemberontak yang dikenal lewat kritiknya ke rezim penindas minoritas itu memamerkan instalasi foto keturunan Tionghoa. Tiap foto menampilkan ekspresi warga Tionghoa bersama keluarga maupun potret pribadi dengan cap pemerintah yang berkuasa di Indonesia, dari Belanda sampai Orde Baru. Ia mau mengingatkan realitas sosial yang tak berubah sejak zaman bahula hingga saat ini di mana identitas menjadi penentu oposisi biner.

“Apa yang saya ingin sampaikan adalah persoalan indentitas, mana pendatang warga asli yang berpose bahagia berhadapan dengan persoalan legal formal dalam Undang-Undang yang jadi diskriminatif,” kisah FX Harsono.

Atau simak juga “Sirkus Adu Badak” dari Djoko Pekik yang bercerita tentang situasi politik-ekonomi Indonesia sejak Orde Baru. Seniman yang jadi langganan Art Jog ini melukis dua badak diadu dalam tenda sirkus yang disaksikan banyak orang dalam kanvas seluas 250×500 cm. Djoko, sebagaimana karya-karyanya sebelumnya, kembali mengingatkan bahaya neo-imperialisme yang tak lagi sekadar mitos di tengah masyarakat.

“Inilah ajang komunikasi dan dialog para seniman dalam Art Jog lewat karya seni. Pecinta seni pun langsung mengerti dan menyadari bahwa Mandiri Art Jog ke-9 ini tidak sekadar memamerkan karya seni yang bisa ditafsirkan secara estetik, tapi juga merekam realita yang dekat dengan masyarakat,” komentar Sineas Garin Nugroho yang juga ambil bagian lewat instalasi yang diberinya judul “Air Mata Dali”.

Sirkus Adu Badak // Djoko Pekik
Sirkus Adu Badak // Djoko Pekik © Dezta Wasesa

Mandiri ART Jog ke-9 ini diikuti 72 seniman. Ada 62 seniman lokal dan 10 seniman luar negeri. Keterlibatan seniman luar negeri ini bukan hal aneh karena Art Jog sudah dianggap sebagai event seni internasional yang membuat seniman luar negeri berlomba-lomba menampilkan karyanya dalam event ini. Keterlibatan ini juga membuktikan seni rupa kontemporer Indonesia sudah diperhitungkan di tingkat internasional.

Terkadang sebuah karya seni kehilangan ruh saat diapresiasi. Dengan kata lain, banyak orang yang merasa puas hanya dengan sekedar menikmati karya seni dari luarnya saja. Art Jog mampu mengajak orang tidak hanya selesai sampai di sana. Tidak sekadar selesai ketika karya seni terpampang di dinding instagram namun memaknai isi dan melekatkannya ke kehidupan. Para pengunjung yang datang saat pembukaan, Jumat 27 Mei 2016, mengakui sendiri pelekatan itu.

“Saya tidak pernah absen menyaksikan pameran seni besar di Asia Tenggara. Tapi hanya di sini (Art Jog) saya menemukan kedekatan peristiwa antara Jepang dan Indonesia dalam lukisan atau instalasi dua tiga dimensi. Tidak butuh waktu lama untuk menyadari makna peristiwa dalam karya seni di Art Jog,” komentar Kata Hiragawa, salah seorang tamu VIP dalam pembukaan.

Hiragawa menemui kedekatan itu dalam karya video dari seniman negaranya, Takashi Kuribayashi berjudul “We Have Decide Not To Die” yang mengisahkan kehidupan masyarakat di Perfektur Fukushima yang lantak usai Tsunami dan terancam kebocoran nuklir akibat bencana alam itu. Mereka tidak mau pindah dari Fukushima meski ada ancaman nyata. Tanah nenek moyang jauh lebih berharga dari nyawa. Video ini mengingatkan Hiragawa pada penduduk di Lereng Merapi 2010 lalu. “Itu adalah kedekatan yang saya maksud. Waktu kami dari Jepang membantu di Merapi, berat bagi warga meninggalkan desanya,” sambungnya.

Papat Kiblat // I Made Widya Putra
Papat Kiblat // I Made Widya Putra © Dezta Wasesa

Tidak hanya dialog waktu, karya seni di Mandiri Art Jog ke-9 juga unik lalu berada pada estetika tinggi. Contohnya Rumah Joglo yang diberi judul sebuah filsafat Jawa. “Papat Kiblat Lima Pancer: Eling Sangkan Paraning Dumadi” oleh I Made Widya Diputra, Auto Part bertajuk “Blue Moon” Ichwan Noor yang memprovokasi mata, atau kolase arsip foto yang dipindah ke medium tekstil oleh Eko Nugroho berjudul “Street Talk”, landscape Mooi Indie yang mempertemukan lukisan dan patung dari Abdi Setiawan, kreasi foto Agan Harahap, analogi rumah tangga dalam patung karya Arya Pandjalu, dokumentasi puluhan seniman dalam bingkai ekspresi foto Davy Linggar, dan paling mengundang decak kagum adalah Comission Work dari Venzha Cristiawan dengan judul “Indonesia Space Sciene Society” atau ISSS.

ISSS ini membuat satu antena yang dipasang di menara setinggi 36 meter dan satu grup antena penangkap sinyal dan frekuensi. Dua antena ini akan menangkap fenomena di ruang angkasa yang bisa dibaca melalui grafik di layar yang disediakan. Platform ini coba menghipotesa kehidupan di luar angkasa yang bisa dibuktikan secara ilmiah melalui grafik dan juga suara dengan headphone yang disediakan.

ISSS
ISSS © Dezta Wasesa
Monitor ISSS
Monitor ISSS © Dezta Wasesa

Pengunjung Mandiri Art Jog ke-9 bakal langsung berdecak kagum ketika di halaman muka gedung JNM. Heri Pemad, Direktur Artistik Mandiri Art Jog 9 mengubah visual muka gedung jadi lebih hidup dibanding JNM di hari biasa. Ada monumen penanda Mandiri Art Jog 9 plus menara lengkap perangkat lampu suar yang bisa menjangkau sampai 10 Km. Ada juga terowongan kinetik berbentuk blower sepanjang 50 meter yang menghubungkan halaman dengan bagian dalam tempat pameran. Tata letak tiap karya di bangunan tiga lantai JNM juga tidak sembarangan dan pas dengan ruang yang disediakan.

Terowongan Art Jog
Terowongan Art Jog © Dezta Wasesa
Terowongan 2
Terowongan 2 © Dezta Wasesa

Menikmati dan berdialog di Mandiri Art Jog ke-9 ini bisa dibilang cukup murah. Pengunjung cukup merogoh Rp25 ribu untuk pelajar dan mahasiswa dengan menunjukkan tanda pengenal, dan Rp50 ribu untuk umum. Bagi yang memiliki Kartu E-Money Bank Mandiri akan sangat dimudahkan dalam Mandiri Art Jog 9 kali ini. Tinggal datang ke pintu masuk Mandiri Art Jog 9 lalu menunjukkan kartu pada panitia, pengguna langsung bisa masuk ke dalam area pameran. Kemudahan transaksi lainnya adalah pengguna bisa menggunakan kartu E-Money Mandiri di sejumlah stan bazaar, kuliner, merchendise, dan bisa juga digunakan di luar acara.

Bagi pengunjung yang belum menggunakan Kartu E-Money Mandiri bisa langsung membuatnya di venue Loket Mandiri Art Jog 9. Setiap orang bisa membuat kartu ini meski bukan nasabah Bank Mandiri. Prosesnya tidak memakan waktu lama dan cukup mudah. Hanya membayar Rp10 ribu pengganti kartu dan mengisi ulang kartu nominal Rp50 ribu sampai Rp1 juta. Setelah itu kartu langsung bisa digunakan tidak hanya di dalam area Art Jog namun juga untuk keperluan lain di luar Art Jog 9. Contohnya saja membayar tagihan kebutuhan Rumah Tangga seperti listrik, air, TV berbayar di Indomaret, bisa dipindah tangan, dipakai transaksi secara bersamaan, dan tanpa bunga.