Kerajaan Kopi Itu Bernama Wae Rebo
Kopi selalu membantu saya mengalirkan percakapan. Terlebih dengan sesama petani kopi selingkaran pertemanan dari mana pun mereka. Kendati saya membudidayakan komoditas lain seperti padi, cengkeh (komoditas unggulan kedua di desa saya), kakao, beberapa jenis buah, namun yang paling mentradisi di desa saya tetaplah kopi. Alhasil, dari aspek mana pun, emosional maupun kesejarahan, dengan kopi saya merasa ada jalinan paling kuat.
Dulu, menurut tetua-tetua di desa saya, kopi pernah menjadi simbol status. ‘Martabat’ sebuah keluarga sering diukur dari berapa jumlah kopi yang mereka panen, dalam satuan kuintal atau ton per hektar per tahun. Itu parameter tak tertulis seberapa luas tanah yang mereka punya, seintensif apa sebidang kebun mereka kelola.
Kecakapan menaksir luas atau pengkategorian intensif tak intensif itu mudah oleh sebab mayoritas warga di desa saya berprofesi sebagai petani kopi. Kopi bagi warga di desa saya bukan sebatas komoditas pangan, melainkan identitas, kultur dan nilai sekaligus.
Oleh alasan alih fungsi, luas lahan menciut, jumlah petani menyusut. Akan tetapi tidak berarti gen bertani atau kecintaan pada kopi surut, tidak! Sampai hari ini kopi tetap menjadi minuman selamat datang, baik pada saat menyambut tamu maupun dalam upacara adat atau keagamaan.
Kopi masih dibudidayakan dengan baik, bahkan melalui perbaruan metoda-metoda hasil serapan dari petani kopi di daerah lain. Lagipula desa saya, desa Munduk, desa terpencil di Bali Utara, diuntungkan oleh topografi dengan level ketinggian bervariasi antara 500 hingga 1100 mdpl. Ideal untuk pembudidayaan dua varian kopi yang lazim kita kenal yakni arabika dan robusta.
Provokasi Puthut EA
Suatu hari, saya lupa persisinya kapan, saya dipertemukan dengan sebuah buku rangkuman perjalanan yang menurut pengakuan penulisnya ‘diawali lebih besar oleh api gairah daripada unsur rasional, lebih dominan rasa nekat ketimbang unsur rasional’. Judulnya “Ekspedisi Cengkeh”, garapan sebuah tim yang dikomandani Puthut EA. Buku setebal 255 halaman, disisipi video dokumenter pernak-pernik perjalanan ke daerah asal cengkeh, kepulauan Maluku.
Reaksi pertama setamat membaca buku tadi, saya tersentak, jengah, tepatnya merasa keduluan. Maksud saya, Puthut EA, penulis yang karya-karyanya banyak saya sukai, yang (saya tengarai) bukan seorang petani, sempat-sempatnya berderma budi baik kepada dunia saya, dunia petani. Meriwayatkan secara apik bagaimana petani bergumul dengan aneka persoalannya, dari soal-soal riang sampai sisi-sisi suram keterpurukannya. Bersedia membagi energinya mengulik-ulik Maluku demi memperkaya khasanah literer dunia tani Indonesia sementara saya yang bersilsilah genetis petani bergeming sonder tindakan berarti.
Menuju Wae Rebo
Disengat kitab “Ekspedisi Cengkeh’ tadi, saya tergerak melakukan hal serupa, setidaknya mirip. Hanya berbeda obyek ekspedisi, yakni kopi. Skalanya pun berbeda, jauh di bawah protokol standar buku “Ekspedisi Cengkeh’ yang saya baca. Mulai perencanaan hingga dana, semua berkategori seadanya.
Langkah pertama saya adalah mengumpulkan serangkaian amunisi pendukung seperti informasi, buku-buku referensi, kliping-kliping koran yang berhubungan dengan habitat kantung-kantung kopi nusantara. Kepala saya mulai menyusun daftar: Gayo, Sidikalang, Lampung, merambah Indonesia Timur; Toraja, Wamena.
Sebetulnya kopi dari berbagai daerah tadi hampir seluruhnya sudah pernah saya cicipi. Kebanyakan saya peroleh sebagai hadiah atau barteran dengan teman-teman sesama penyuka kopi. Ada yang sudah berupa bubuk siap konsumsi, ada pula yang masih berupa biji kering yang mesti disangrai terlebih dahulu.
Pilihan pertama saya jatuh pada Flores. Jargonnya: Wisata Kopi. Kata ‘wisata’ nantinya menjadikan saya sah memperoleh bonus lain, selain kopi tentunya. Siapa yang tidak tergiur eksotisme Flores? Sebut saja Danau Kelimutu, Museum Bung Karno di Ende, Pulau Komodo, Rinca, Perkampungan Tradisional Bena, ah daftarnya bisa sangat panjang.
Dibumbui hasutan seorang kawan baik yang menyebut rasa kopi Flores amat kuat, tak ayal kian menebalkan niat saya memilih Flores.
Kantung kopi pertama yang saya tuju adalah sebuah perbukitan di Manggarai: Wae Rebo. Saya memilihnya lantaran tempat ini belum banyak disebut. Sedangkan dari cerita yang saya dapat, nama kondang kopi Manggarai tidak lepas dari andil kopi asal perbukitan ini. Saya dengar pula, masyarakat adat di bukit yang konon bermakna ‘mata air’ ini masih setia menggunakan cara-cara murni dalam bertani, termasuk membudidayakan kopi.
Butuh tiga jam dari Ruteng untuk sampai di Satar Lenda, desa dengan akses terdekat menuju puncak Wae Rebo. Empat jam pendakian, dipandu Timotius Timo, anak muda setempat yang bekerja sebagai penunjuk jalan, petang menjelang malam tibalah saya di lanskap hijau bebukitan dengan ceruk perkampungan di tengah-tengahnya, kampung di ketinggian 1100 mdpl. Langit bersih, udara mengirim aroma humus dari tanah, dengung koloni tonggeret dari balik gerumbulan pepohonan.
Memasuki rumah tradisional Mbaru Niang, tidak henti-hentinya saya dibuat kagum. Rumah berkonstruksi bambu dan kayu berbangun kerucut ini tergolong rumah panggung, lantai dasarnya berjarak kurang lebih satu meter dari tanah. Ruang utamanya berbentuk lingkaran bergaris tengah 12-an meter, mengerucut ke atas setinggi 13 – 15 meter terbagi menjadi lima undakan dengan fungsinya masing-masing.
Terbawah adalah Lotur, ruang berkumpul bersama keluarga. Yang kedua Lobo, tempat menyimpan perkakas sehari-hari. Undakan ketiga disebut Lentar untuk menyimpan stok benih atau pangan. Keempat Lempa Rae untuk menyimpan cadangan pangan andai terjadi kekeringan atau gagal panen. Teratas adalah Hekang Kode, tempat menaruh sesembahan kepada roh leluhur.
Setelah acara penyambutan yang diisi doa-doa permohonan keselamatan kepada leluhur dan ritual cyarangka (semacam inisiasi) yang lazim diberlakukan kepada setiap tamu, sejak petang itu saya sah menjadi anak Wae Rebo.
Yang saya tunggu-tunggu datang, segelas kopi hitam dan beberapa potong ubi talas rebus. Kopi arabika seduhan perempuan setengah baya yang belakangan saya ketahui bernama Mama Nina, tidak enteng, tidak pula pekat. Butir halus bubuknya lekas mengendap meninggalkan sedikit apungan butiran kasar yang tak lama kemudian turut mengendap, perpaduan yang hanya bisa didapat melalui cara menyangrai yang baik ditambah kematangan air sempurna. Rasa asam khas arabika sedikitpun tidak membekaskan perih di lambung. Saya dibuat jatuh cinta tanpa ampun.
Menikmati kopi suguhan Mama Nina, segala klaim dus batasan-batasan ‘formulaik’ yang bernama art of coffee, science of coffee dan seterusnya, menjadi tidak penting. Hegemoni pemaknaan kopi yang memacak rumusan atau standar tertentu, lalu membaginya ke dalam kasta A,B,C,D, atau tindakan memversuskan segala sesuatu (enak-tidak enak, benar-salah, kopi cap angkringan-kopi kelas coffee house), agaknya layak diralat.
Kopi, hemat saya sebangun dengan keluasan dimensi ilmu pengetahuan yang setiap peraciknya, yang masing-masing penikmatnya merdeka memilih tiap cabangnya.
Dari rasa kopi yang saya candra ditambah sekumpulan cerita keintiman mereka dengan ladang-ladang mereka, terutama kopi, saya menyimpulkan dalam hati, Wae Rebo dan kopi tak ubahnya relasi dua ‘organisme’ dalam simbiosis yang saling memperkaya.
Pagi pertama di Wae Rebo adalah pagi yang membius. Di compang, bebatuan yang disusun menyerupai altar, Aleksander Ngadus, ketua adat masyarakat Wae Rebo, saya dapati bersila dibungkus sarung hijau sentadu khas tenunan warganya. Secangkir kopi dan pangsi kain berisi tembakau tergeletak di sebelahnya. Beberapa ekor burung seriwang terbang pendek beradu cericit di wuwungan Mbaru Niang.
Dari sang ketua adat, hari itu saya beroleh senarai yang saya tidak pernah lupa bahwa tubuh akan beradaptasi dengan alam selama kita tidak berontak kepada hukum-hukumnya. Saya kira Aleksander Ngadus benar. Tidak mudah, misalnya, menjelaskan keganjilan kerja metabolisme tubuh orang-orang Wae Rebo yang terbiasa mengonsumsi kopi sembilan atau sepuluh gelas dalam sehari. Kenyataannya mereka baik-baik saja.
Dua spesies kopi, arabika dan robusta, tumbuh baik di Wae Rebo, bersisian dengan hutan hujan yang didominasi spesies epifit (jenis-jenis anggrek), paku-pakuan, perdu dan vegetasi berkayu seperti wowor, pinus, kemiri, meranti dan ficus.
Kedatangan saya bertepatan dengan musim panen kopi, alhasil saya berkesempatan melihat cara-cara mereka memanen, juga perlakuan sesudahnya. Senang tidak kepalang rasanya mengenal dari dekat pernak-pernik budaya bertani mereka, lebih-lebih terhadap hal-hal asing atau tidak saya kenal sebelumnya. Panen hanya dilakukan terhadap biji yang benar-benar berwarna merah (petik merah), ini salah satu sebab kuatnya rasa kopi tanpa kehilangan wangi khasnya, demikian Mama Nina menjelaskan.
Dibanding panen dengan cara diraut, petik merah menjadikan kualitas kopi lebih baik. Tandannya terhindar dari kemungkinan patah atau tertekuk. Bakal bunga dan calon buah berikutnya selamat dari gamitan tangan. Rentang panen pun lebih lama yakni mulai Maret hingga September, bahkan sampai November untuk jenis robusta. Demi memudahkan pemisahan biji dari kulitnya, kopi merah tadi mereka rendam semalaman. Selanjutnya diangin-anginkan di atas tikar pandan atau terpal.
Bahwa (kopi) Wae Rebo selalu luput dari lalu-lalang diskusi-diskusi yang bertema kopi, iya. Fakta yang bikin enek hati tadi boleh jadi disebabkan oleh alasan yang sejatinya dapat dimaklumi (baca: dimaafkan). Akses yang sulit, itu pasti. Tak dimungkiri pula brand kopi Manggarai kadung mengambil alih seluruh porsi ketenaran kopi Flores, khususnya Flores wilayah barat (Kabupaten Manggarai, Ruteng dan Labuan Bajo). Apa pun itu, Wae Rebo nyata-nyata tak terbantahkan sebagai salah satu wilayah penting dalam keluasan peta kopi Indonesia.
Di luar kopi, Wae Rebo menyimpan sisi-sisi elok yang layak dibagi. Mozaik dengan kepingan-kepingan yang terhubung: hutan hujan, kekerabatan, sistem kepercayaan, arsitektur, belabang, tenun, mata air yang melingkari punggung-punggung bukitnya, dan terutama kelenturan mereka dalam bersinggungan dengan apa yang datang dari luar.
Pulangnya, Mama Nina menghadiahi saya sekilo biji mentah kopi arabika pilihan. Sebelum saya tahu untuk apa, Mama menambahi, “Kenang-kenangan untuk Bapak tanam di Bali.” Benar juga, saya membatin. Andai tumbuh nanti, tajuknya dengan mudah menautkan ingatan saya dengan tempat muasalnya, bukit nun di Manggarai sana, di mana manusia dan alam berdampingan saling merawat.
Disalami beberapa warga, saya meninggalkan Wae Rebo, berjanji akan kembali suatu waktu. Bajawa, kerajaan kopi Indonesia berikutnya sudah menunggu.
Post Comment