5 Film Cina untuk Menemani Tahun Baru Imlek
Sering saya berpikir bahwa warisan terbesar Abdurrahman Wahid, presiden kita yang ‘gus’ itu, ada pada hal-hal simbolis. Jangan dulu berpikiran sempit. Yang berkaitan dengan simbol turut pula menjadi hal penting karena simbol berkenaan dengan bagaimana kita memaknai segala yang ada di depan mata, merefleksikan, untuk kemudian terus melanjutkan hidup.
Salah satu dari warisan Gus Dur tersebut adalah bagaimana dia memberi angin segar bagi warga Cina untuk menganut agama Konghucu —serta merayakan tradisi dan hari rayanya— melalui Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000. Kini kita bisa sama-sama merayakan, mengucap selamat, pula berbahagia bersama-sama warga Cina.
Demi segala penyangkalan yang mengatakan mereka sebagai yang asing (the other); demi segala penindasan terhadap hak-hak asasi selama puluhan tahun; demi pengekangan terhadap iman atas nama stabilitas politik; keputusan Gus Dur tersebut brilian dan melegakan.
Adalah naif bila mengatakan mereka bukan ‘kita’. Jejak kebudayaan Cina ada di mana-mana. Dari baju koko dan thawb yang dipakai ketika mengaji, hingga sedapnya makanan yang kita cecap. Dari petasan yang digunakan orang-orang Betawi, sampai pengaruh dialek dan kosakata yang kini kita sering ucap.
Pada Tahun Baru Imlek ini, saya tawarkan kepada Anda lima film bikinan sineas Cina yang dapat Anda tonton bersama orang-orang terkasih. Karena alasan itu pula, saya harus meminggirkan film-film wuxia Shaw Bersaudara; juga film-film gangster John Woo ’90-an.
Film-film yang saya ajak Anda untuk tonton adalah film-film yang dibuat oleh ‘bangsa’ Cina, yaitu sineas yang berpaspor Cina daratan (mainland China), Hong Kong, serta Taiwan. Saya pernah membaca salah satu kritikus film yang menyebut bahwa ketiga hasanah film ini menawarkan gaya sinema yang masing-masing distingtif. Namun soal itu akan saya tulis di lain kesempatan.
1. Dearest (Peter Ho-Sun Chan, 2014)
Bukan bermaksud berlagak eksistensialis, tapi pertanyaan-pertanyaan bernada demikian saya pikir penting untuk merefleksikan esensi kehidupan yang kita jalani. Kita tiba-tiba lahir, diberi nama dan agama, untuk kemudian mematuhi norma-norma yang ada. Kita kerap melakukan sesuatu secara apa adanya (taken for granted), tanpa memikirkannya masak-masak.
Rasa itulah yang saya dapat pasca menonton film ini. Untuk Anda yang berhati rentan, saya jamin akan menguras air mata. Konsep kepemilikan (atas benda, atas manusia) membuat kita sering bertindak sembarangan karena relasi kekuasaan membuat sang “pemilik” merasa berhak bertindak demikian.
Film ini menceritakan perebutan hak asuh terhadap anak. Tian Wen Jun (Huang Bo) telah bercerai dengan istrinya, Lu Xiaojuan (Hao Lei). Sehari-hari Wen Jun mengelola warnet sedangkan sang istri wanita kantoran. Pengasuhan anak mereka jalani secara bergantian –meski hak asuh jatuh ke tangan sang suami.
Tiba-tiba sang anak, Peng Peng, menghilang. Di sepertiga awal film kita diingatkan, kita mungkin telah bercerai dengan pasangan, lalu memanggilnya ‘mantan istri/suami’. Tetapi tidak akan pernah ada yang namanya konsep ‘mantan anak’.
Sekian tahun usaha dilakukan –termasuk bergabung dengan support group para pasangan yang mutiara hatinya diculik, keberadaaan sang anak akhirnya terendus di suatu desa. Di sinilah kita dipertemukan dengan Li Hongqin (Zhao Wei): sosok ‘ibu’ bagi anak tersebut. Wen Jun, Xiaojuan, serta beberapa anggota support group akhirnya merebut Peng Peng dengan paksa. Peristiwa ini membuat seisi kampung heboh. Mereka mengejar Wen Jun dan Xiaojuan –sambil turut jua memukuli mereka.
Hati pasangan ini menjadi remuk setelah Peng Peng, yang berada dalam dekapan, tidak mengenal mereka berdua dan justru memanggil-manggil Li Hongqin yang dia anggap ibu. Setelah melibatkan pihak berwajib, akhirnya negara memutuskan Peng Peng untuk kembali ke tangan orangtua yang sah. Almarhum suami Hongqin memang si penculik Peng Peng beberapa tahun sebelumnya.
Apakah film berhenti sampai di situ? Tonton terus kelanjutannya.
2. Lust, Caution (Ang Lee, 2007)
Agak ragu sebenarnya untuk memasukkan film ini dalam daftar. Tapi karena reputasi Ang Lee sebagai sineas Asia begitu menonjol, saya pun memilih Lust, Caution dari filmografi sutradara asal Taiwan ini. Saya juga terpaksa meminggirkan Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) yang fantastis itu karena berada dalam genre wuxia.
Cina pernah porak-poranda oleh perebutan bangsa-bangsa asing. Rusia, Inggris, dan Jepang silih berganti menjajah dan mengeruk sumber daya negeri yang begitu luas ini. Perang Jepang-Cina adalah salah satu peristiwa yang kemudian memantik kesadaran bangsa sehingga mewujud menjadi RRC.
Film ini kompleks, dipenuhi pertautan antara bara asmara, kesetiaan pada cita-cita (cause), dan rumitnya dunia intelijen. Hal-hal tersebut kemudian menjadi satu paket komplet yang memaparkan pada kita pesona jiwa manusia. Dalam situasi rumit penuh dengan kecurigaan, cinta dapat tumbuh dan menggoyahkan nilai-nilai yang selama ini kita genggam.
Suatu kelompok teater kampus, yang awalnya sekadar memainkan lakon-lakon patriotik, mengalihkan cita-cita naif khas anak muda sehingga bergabung dengan Kuo Min Tang. Cina kala itu dikuasai Jepang. Pemerintahan yang ada adalah pemerintahan boneka Wang Jingwen: sang pengkhianat Revolusi 1911.
Seorang dara anggota teater, Wong Chia-chi (Tang Wei) dipilih untuk menjadi pemikat hasrat seksual target pembunuhan mereka, yaitu kepala intelijen pemerintah, Tn. Yee (Tony Leung). Cina adalah bangsa yang mengenal konsep selir di luar pernikahan resmi. Fakta itulah yang membuat mereka memilih strategi ini, untuk mengupayakan percobaan pembunuhan Tn. Yee.
Chia-chi berganti penampilan dan menjadi Ny. Mai. Chia-chi mengaku dirinya seorang istri dari pengusaha yang sibuk lalu masuk ke pergaulan istri-istri pejabat, di mana istri Tn. Yee ada di dalamnya dan sering menjadi tuan rumah untuk permainan mahjong para istri.
Strategi tersebut berhasil. Tn. Yee, di tengah hidupnya yang super sibuk, jatuh hati pada Chia-chi. Perselingkuhan pun terjadi dan akhirnya Chia-chi “resmi” menjadi selir Tn. Yee. Seks bersama Tn. Yee yang awalnya kasar dan bergajul pelan-pelan berubah sensual, penuh penghayatan.
Meski adegan seks di film ini terlalu mencuri perhatian, menurut saya itu cara Lee untuk menjelaskan perubahan psikologis Tn. Yee dan Chia-chi. Akting Tony Leung benar-benar mumpuni. Ia adalah aktor yang kehadirannya sanggup menggetarkan kita hanya lewat tatapan mata. Postur tubuhnya yang kecil tidak menghalaunya untuk memainkan figur seorang pejabat dengan wibawa menjulang yang diincar lawan-lawan politik.
Cinta, cita-cita akan kemerdekaan, kesetiaan pada kelompok, juga kemelut perasaan kemudian campur aduk dan membawa kita ke akhir tragis. Betapa mahal harga yang dibayar untuk mencapai suatu kondisi kebangsaan.
3. The Road Home (Zhang Yimou, 1999)
Yimao adalah nama terdepan dalam dunia perfilman Cina kontemporer. Ia berada dalam kelompok sineas yang dinamakan Sineas Generasi Ke-V Cina yang, terus terang, hanya melambungkan namanya.
Ada kesatuan tema yang melatari film-film Yimao, yaitu kemanusiaan. Tak peduli apapun lanskap dalam film tersebut, Yimao konsisten menyorot hubungan antar manusia yang dengan detail ia paparkan kepada penonton lewat casting tepat, dialog proporsional, sempilan humor, dan musik latar membius.
Cerita dalam The Road Home sederhana. Seorang anak harus kembali ke kampung halaman yang jauh dan terpencil setelah mendapati kabar bahwa ayahnya meninggal. Rona film awalnya hitam-putih yang berubah berwarna kala sang ibu, Zhao Di (Zhao Yulian), menceritakan awal mula pertemuannya dengan sang suami. Ini membawa kita ke zaman di mana Revolusi Kebudayaan Mao Zedong berlaku.
Revolusi Kebudayaan adalah kebijakan yang diambil Zedong – atas inisiatif kelompok Gang of Four – untuk menekan pengaruh tokoh-tokoh tandingan dalam Partai Komunis. Dengan piawai, Zedong – yang memang sedemikian kharismatik – memanfaatkan anak muda Cina untuk menjadi bagian dari revolusi tiada akhir. Salah satu poinnya adalah penyebaran anak-anak sekolah ke desa-desa dan mengambil pelajaran dari semangat kaum tani.
Sang ayah, Luo Changyu (Zheng Hao), adalah salah satu yang terdampak dari kebijakan ini. Ia ditugasi untuk mengajar di desa Zhao Di (versi muda diperankan oleh Zhang Ziyi). Rasa hormat patut kita berikan pada Yimao karena setelah menunjukkan pada dunia kepiawaian akting Gong Li, ia juga berhasil mencuatkan Ziyi (ini debut layar lebar Ziyi).
Sebagai gadis desa, ia terpesona pada Changyu yang mewakili simbol-simbol kemajuan zaman. Ia selalu mengintai Changyu, mulai saat sang idaman bersama warga membangun sekolah (satu-satunya di desa itu), mencuri dengar proses ajar-mengajar (Changyu satu-satunya guru di desa itu). Kita bisa melihat pancaran kasih sayang Zhao Di dari caranya memasak untuk Changyu, tatapan matanya, hingga bagaimana ia mengejar Changyu yang dipaksa kembali ke kota oleh partai.
Tidak berlebihan, karena saat itu konsep menikah atas dasar kasih sayang tidak dikenal rakyat Cina. Sistem perjodohan tidak bisa dilawan. Perjodohan adalah sistem yang baik karena kasih sayang toh akan timbul seiring bergulirnya waktu. Bahkan perempuan Cina harus rela jika sistem tersebut semata menjadikannya gundik bagi pria yang puluhan tahun lebih tua. Ini adalah bentuk perlawanan simbolis yang juga tertuang di film-film Yimao sebelum ini.
Walhasil, cintalah yang menang. Dengan manis Yimao mengemasnya dalam drama yang bergerak lambat ini. Mungkin karena disebabkan akting menggemaskan Ziyi, juga kinerja sinematografi yang melambungkan namanya seperti dalam Red Shorgum (1987) atau Raise the Red Lantern (1991).
4. Chungking Express (Wong Kar-wai, 1994)
Wong Kar-wai adalah sineas new wave Hong Kong yang sulit kita rekomendasikan karya-karyanya kepada orang lain. Meski film terakhirnya ambruk di pasaran dan di mata kritikus, Kar-wai adalah figur yang tidak boleh dilewatkan kala membicarakan budaya sinema bangsa Cina.
Film ouvre-nya, In the Mood for Love (2000), memiliki alur yang terlalu lambat sehingga saya lebih memilih Chungking Express. Sebagaimana film-filmnya yang lain, film ini juga tidak mementingkan alur. Kar-wai terkenal sebagai sutradara yang mampu mengemas tokoh-tokohnya, untuk kemudian membuat kita bersimpati pada penokohan tersebut.
Dibagi menjadi dua bagian, benang merah film ini adalah bagaimana sosok polisi dengan penuh ironi ia paparkan dalam laku yang sangat tidak maskulin: berhati rapuh, ditinggal perempuan, untuk kemudian jatuh hati pada sosok baru, dan… kembali ditinggal. Secara artistik film ini juga menunjukkan pada kita mengapa kata ‘new-wave’ dilekatkan pada sutradara yang selalu mengenakan kacamata hitam ini.
Tidak diperlukan penjabaran terperinci untuk film ini. Saya menyarankan Anda menontonnya dan ‘bersabar’ untuk kemudian menyadari bahwa jatuh cinta bisa hinggap di momen-momen yang paling tidak memungkinkan sekali pun.
5. Comrades: Almost a Love Story (Peter Ho-Sun Chan, 1996)
Apa itu cinta dan apa itu takdir? Dua kata itu kerap kita temukan dalam satu rangkaian kalimat. Takdir cinta membuat kita turut berbahagia pada, misalnya, dua pasang teman SMA yang setelah belasan tahun berpisah, bertemu, lalu mengikat janji suci. Tema seperti ini juga ampuh dituangkan dalam film.
Terkesan super melankolis, memang. Tapi sesekali kita perlu juga memalingkan diri ke hal-hal trivial agar hidup tak melulu serius. Comrades: Almost a Love Story sering saya tonton ulang dan rekomendasikan ke orang lain karena alasan tersebut.
Di film ini, Li Qiao (diperankan oleh Maggie Cheung yang sedang ranum-ranumnya; baik secara fisik maupun akting) berpasangan dengan Li Xiao-Jun (Leon Lai). Xiao-Jun baru saja tiba di Hongkong. Ia menjadi bagian dari sekian ribu orang yang muak dengan represi komunis Cina dan mengadu nasib di Hongkong yang kosmopolitan.
Xiao-Jun pria yang naif. Ia tidak peka dengan bergegasnya kehidupan orang-orang Hongkong. Ia bingung mengapa perempuan-perempuan yang tinggal bersamanya melulu sibuk dengan dunia malam, pesta, lalu bangun selalu siang. Tempat yang ia tinggali adalah rumah bordil. Ia bisa tinggal di situ karena faktor sang tante – pelacur pensiun yang kini menjadi mucikari.
Gaji pertama ia hamburkan untuk makan di McDonald’s: simbol modernisasi abad 20. Saking senangnya, kertas tatakan dari restoran cepat saji tersebut pun ia kirimkan kepada sang pacar di kampung yang rutin ia surati.
Di McDonald’s inilah dia bertemu dengan Qiao. Gadis lincah yang awalnya mengaku warga asli Hongkong. Qiao penuh ambisi, di awal pertemuan sudah banyak menasehati Xiao-Jun mengenai ihwal mencari nafkah di Hongkong. Ia tanggap dengan kemajuan zaman, telah piawai menggunakan ATM, juga menyisihkan upah untuk berinvestasi saham.
Konteks film ini adalah takdir cinta yang dikerubungi kilau globalisasi, kota yang baru tumbuh, dan kultur diaspora bangsa Cina. Peter Chan membawa kita bertualang di sudut-sudut sempit Hongkong, keragaman etnisnya, persinggungan para pendatang Asia dengan pendatang Barat, hingga ke New York – kota simbol genitnya modernitas.
Qiao mulanya hanya berniat memanfaatkan kenaifan Xiao-Jun: materi, tenaga, hingga waktu. Xiao-Jun, yang keluguannya begitu memancar, senang-senang saja karena Qiao-lah satu-satunya teman yang ia punya di negeri baru.
Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta pelan-pelan merayap tumbuh karena terbiasa. Qiao, di balik pesona kemandiriannya ternyata menyimpan kerapuhan. Xiao-Jun pun pelan-pelan mulai bisa menyisihkan sosok pacar yang hanya bisa ia surati.
Di tengah-tengah asmara yang berkobar itu, kenyataan pun datang: pacar Xiao-Jun hijrah ke Hongkong untuk bekerja dan kembali memintal kasih. Sementara Qiao, yang frustasi karena investasinya hangus, bekerja menjadi pemijat dan bertemu dengan sosok patriark – seorang bos mafia – yang mampu memberinya apa yang tidak bisa diberikan Xiao-Jun: kepastian, materi, dan jaminan hidup.
Setelah dibuat menggeletar oleh kemesraan mereka berdua, Peter Chan menuntaskan film dengan ending picisan yang, sialnya, mujarab untuk membuat Anda ingin mendekap pasangan Anda lebih erat lagi.
Gong Xi Fat Chai!
Post Comment